Wednesday, January 12, 2005

Kehidupan: Senandung Belarasa

Senandung Belarasa di Lautan Duka

Justru ketika daya-daya kekuatan manusia tengah dibungkam, ditundukkan, dan dihancurkan oleh kekuatan alam, pada saat itulah naluri dasar terdalam manusia untuk berbela rasa (compassion) meronta keluar dari kelopak belenggu rantai-rantai sentimen perbedaan agama, suku, kelas, golongan dan bahkan kewarganegaraan. Suasana semacam inilah yang menyelimuti wajah kemanusiaan di seantero dunia saat ini, pun di tempat terdekat dimanapun kita berada, menyusul tragedi terbesar abad ini, gempa Tsunami di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Pagi-pagi buta ketika masih terpekur dalam hening di sudut ruang doa, penulis dihampiri seorang sahabat tua yang menyentuh pundak sambil melontarkan ucapan belarasa dan keprihatinan atas tragedi Tsunami itu, disusul ajakan untuk menyatukan doa. Tercermin duka mendalam pada wajah sahabat tersebut. Sapaan tersebut ternyata merupakan awal untaian mosaik belarasa yang bisa penulis alami, lihat, dan dengar menyusul tragedi yang meluluh lantakkan peradaban manusia di kawasan Asia selatan, termasuk Aceh tersebut. Sejenak kemudian sms, telp, dan email membanjir baik dari rekan-rekan serantau, dari beberapa teman kelas, kenalan, maupun dari beberapa orang yang sebelumnya belum penulis kenal: semuanya berbagi atau menuturkan keprihatinan dan belarasa mereka. Rekan serantauan umumnya bertanya bagaimana cara menghimpun sumbangan dan mendapat kontak penyalur yang tepat, sementara sahabat-sahabat asing menanyakan bagaimana mereka bisa memberikan sumbangan. Keduanya merupakan ekpresi keprihatinan dan bela rasa; naluri solidaritas dan belarasa manusia yang terlalu lama dirantai oleh sentimen dan ketegangan agama, suku, ras, golongan, dan kewarganegaraan.

Pijar-pijar belarasa juga tercermin dari sumbangan-sumbangan yang dicanangkan berbagai negara donor untuk membantu kesebelas negara yang sebagian penduduknya dihujam bencana itu. Selain sejumlah uang, mereka juga memobilisasikan aneka resourses termasuk barang, tenaga medis, ahli-ahli teknik, dan aneka jenis sukarelawan lainya.

Juga, belarasa kemanusian itu masih bisa tercium dari onggokan argumen-argumen pro-kontra yang berseliweran di media global menyikapi “keterlambatan” pernyataan resmi seorang pemimpin tingkat dunia, presiden GB Bush, menangapi tragedi mengerikan ini dan kritik-kritik atas komentar seorang pejabat PBB bahwa Amerika “stingy” dalam hal sumbangan untuk tragedi dunia ini. Aneka kritik ditujukan GW Bush atas “keterlambatanya” menyampaikan pernyataan keprihatinan secara resmi dan kelambanan dalam mengkoordinasi dan memobilisasi resourses ke dearah gempa. Banyak juga yang setuju atas komentar bahwa Amerika masih pelit ketika hanya mencanangkan sumbangan awal $35 M, yang ditaksir hanya setara dengan beaya sekali sarapan pagi para tentara mereka di Iraq. Memang kita sepertinya tidak bisa mendikte sebesar apa negara-negara kaya harus mengucurkan sumbangan, kecuali hanya menunggu dan menyimak bobot moral negara-negara yang sering mengklaim “pejuang-pejuang” kemanusiaan ini.

Apapun argumen-argumen pro-dan kontra atas kedua isu tersebut, dan betapapun kental kepentingan-kepentingan politik yang menyelimuti, sikap-sikap kompasion masyarakat modern seperti Amerika dan komunitas manusia seantero dunia terhadap kehancuran kemanusiaan ini cukup melegakan. Kompasion: sikap dasar kemanusiaan yang sudah lama dibungkam dan dibelenggu oleh perbedaan status sosial-ekonomi, etnik, ras, agama dan kebangsaan. Sikap dasar kemanusiaan yang diberangus oleh kecurigaan-kecurigaan terkait dengan masalah dunia yang melelahkan termasuk terorisme, kesenjangan sosial-ekonomi negara miskin dan kaya, dan kompetisi ekonomi global.

Konsern komunitas dunia agaknya tidak terbatas pada masalah-masalah eksternal, yang meliputi kebutuhan obat-obatan, pangan-minuman-pakaian, penampungan dan transportasi, tetapi juga terkait dengan masalah kehidupan interior masyarakat dunia ketiga dalam menanggung bencana yang mengenaskan ini. Selain analisis-analisis psikologis selama dan pasca bencana dilontarkan dalam beberapa media seperti BBC, CNN, NBC, banyak anggota komunitas dunia juga menaruh perhatian pada ketahanan spiritual para kurban, yang nota bene dikenal berasal dari komunitas masyarakat yang masih kental dengan kehidupan religius, dalam menanggung dan menjalani masa-masa serba sulit ini. “Apakah bencana ini mereka percaya sebagai tragedi yang direncanakan dan dikehendaki Allah?” “Apakah mereka berpikir bahwa Tuhan ingin mengajar dan mendidik umatNya?” “Apakah mereka masih akan percaya bahwa Tuhan melindungi mereka, sementara mereka menyaksikan bahwa banyak anggota keluarga, anak-anak atau orangtua, darah daging mereka ditelan air bah?” “Bagaimana kaum agamawan di kawasan Asia selatan menafsirkan tragedi yang melumatkan kemanusiaan ini?”

Deretan pertanyaan teologis itulah yang dilontarkan antara lain oleh seorang wartawaan harian Chicago Tribune melalui telephone kepada penulis beberapa jam yang lalu. Terlepas dari sulitnya memberikan jawaban yang memuaskan, terlebih ketika duka mendalam menyelimuti para kurban, deretan pertanyaan keingintahuan tersebut merupakan konsern mendalam dan sikap “curiousity” komunitas modern akan “perut” kehidupan interior masyarakat dunia ketiga. Dan sejauh mana jangkar batin-rohani masyarakat kita mampu menawarkan daya resistensi dan tetap membiakan harapan-harapan baru untuk meneruskan ziarah kehidupan, terlebih ketika semua orang-orang tersayang lenyap ditelan oleh tragedi kehidupan.

Naluri terdalam kemanusiaan, kompasion, memang “digugah”. Dan naluri dasar kemanusiaan inilah yang membongkar sekat-sekat pemisah yang tercipta sebagai akibat perbedaan agama, golongan, kewarganegaraan, dan warna kulit. Rajutan-rajutan sikap belarasa atau kompasion yang mempertemukan dan menyatukan hati manusia ini menjadi senandung lirih penghiburan di tengah kehancuran. Bahkan senandung yang menyuarakan janji dan harapan, bahwa peradaban dan kemanusiaan yang telah porak poranda masih mungkin dibangun kembali. Hendaknya sikap-sikap belarasa komunitas internasional ini membiakkan kembali sikap-sikap belarasa kita yang sudah terlalu lama diambil dari hidup kita. Semoga berseminya kembali sikap belarasa kita sebangsa terhadap para korban, melalui sumbangan, dan tindakan-tindakan menemani mereka, memberikan jawaban yang lebih nyaring dan meyakinkan dari pada sekedar jawaban-jawaban dogmatis-teologis mengenai campur tangan Tuhan dalam hidup mereka. Semoga untaian-untaian belarasa ini tidak dihalau oleh sikap egois, oportunis, dan koruptif kita yang sudah mendarah daging, terutama dalam mendistribusikan bantuan. Karena jika tragedi yang sedemikian mengerikan tidak mampu menghentikan sikap kita yang oportunis, koruptif, egois, manipulatif, dengan apalagi kita harus diingatkan? Di batas inilah kualitas kemanusiaan kita diuji. Di ambang inilah titik balik pertobatan kita sebagai bangsa manusia disodrokan. Atau kita sama sekali tidak akan pernah “pulang” menjadi manusia.

Mas Nang, Chicago.