Saturday, January 15, 2005

Artikel: Natal, Lahir kembali

Natal, Lahir Kembali

Oleh Robertus Wijanarko

BEBERAPA tahun terakhir ini perayaan Idul Fitri berdampingan dengan perayaan Natal. Suasana religius yang diciptakan saudara-saudara Muslim sejak mulai berpuasa dan berpuncak pada Idul Fitri, segera disusul suasana religius yang diciptakan kaum Kristiani menyiapkan Natal. Untaian atmosfer religius "Idul Fitri-Natal" terasa sebagai "paket tunggal" undangan keselamatan, di mana bangsa manusia diundang untuk berduyun-duyun kembali ke fitrah, atau dalam bahasa Kristiani: dilahirkan kembali menjadi manusia baru.

Bagi umat Muslim merayakan Lebaran berarti merayakan "fitri", fitrah sebagai manusia seperti saat diciptakan. Di dalamnya termaktub undangan untuk kembali ke fitri, kembali ke jati diri manusia (fitrah) sebagaimana manusia diciptakan dan dikehendaki Tuhan. Sementara bagi kaum Kristiani merayakan Natal berarti merayakan kelahiran Tuhan sebagai bayi, sebagai manusia. Di dalamnya terselip pesan, status ke-manusia-an itu luhur, layak disinggahi-dihuni oleh keilahian.

Selain itu manusia juga dipanggil untuk mau "dilahirkan kembali" supaya bisa bersatu dengan Tuhan (selamat). Dalam bahasa Injil, mereka yang mau menjadi sempurna atau selamat harus dilahirkan kembali atau menjadi seperti kanak-kanak. Pesan Idul Fitri untuk kembali ke fitrah, senada dengan pesan Natal, keterbukaan untuk dilahirkan kembali.

MENGAPA manusia harus kembali ke fitri? Mengapa manusia harus dilahirkan kembali atau menjadi seperti kanak-kanak? Apakah perjalanan kehidupan, rentang waktu atau sejarah itu selalu menjauhkan atau bahkan mengasingkan manusia dari fitrinya, dari keadaan murni sebagaimana mereka baru diciptakan? Apakah proses menjadi dewasa dan tua itu menyapih manusia dari kondisi suci, murni, baik, tanpa dosa, sebagaimana gambaran yang dikenakan pada anak kecil yang baru dilahirkan? Rentetan pertanyaan ini muncul dari asumsi, kembali ke fitrah, lahir kembali, atau menjadi seperti kanak-kanak, merupakan proses progresif. Kembali ke fitrah bukanlah proses dekonstruksi-regresif, artinya bukan proses mundur ke belakang menziarahi kembali kondisi-kondisi atau tahapan kualitas kemanusiaan yang pernah kita miliki sebelumnya; juga bukan proses mengurai (mendekonstruksi) kembali keping-keping lapisan karakter, kepribadian, atau kualitas diri di masa lalu, sampai meraih kembali kondisi-kondisi sebagaimana baru diciptakan oleh Allah.

Demikian juga, lahir kembali atau menjadi seperti kanak-kanak bukanlah proses infantile-regresif, artinya bukan proses merunut dan menapaki ke belakang tahap-tahap perkembangan kepribadian sampai meraih kembali kondisi-kondisi yang kita miliki ketika masih bayi atau kanak-kanak. Kembali ke fitrah, lahir kembali, atau menjadi seperti kanak-kanak adalah proses progresif, artinya suatu proses kemajuan atau proses pertumbuhan dalam mengenakan dan mewujudkan keutamaan atau nilai-nilai, yang pada gilirannya memekarkan fitrah atau hakikat kita sebagai manusia, ciptaan sekaligus citra pencipta.

Proses progresif kembali (menuju) ke fitrah terjadi dengan menekuni dan menyeriusi kehidupan, memeluk kemalangan (malum) dan keberuntungan atau kebaikan (bonum), menghadapi peluang dan tantangan dari hari ke hari, bukan sebagai sarana regresif untuk kembali ke fitrah, juga bukan sebagai sarana "mengamini", melatih, atau mengembangkan ke-taat-setia-an kepada hakikat-hakikat kemanusiaan (the essential perspective of human beings) sebagaimana sering dipresumsikan pandangan teologi metafisik, tetapi lebih merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang terus dalam proses memanusia atau menjadi manusia (being human).

Kembali ke fitri atau menjadi manusia baru dengan demikian tidak terjadi dengan mengabdi kepada kerangka etis maupun yuridis, yang telah dipatok dan disusun berdasar asumsi-asumsi abstraktif-metafisis tentang manusia, yang kemudian dipaketkan sebagai hukum atau aturan etis yang harus ditaati manusia, tetapi merupakan proses perjalanan progresif untuk memekarkan seluruh potensi diri menjadi manusia yang semakin dan terus memanusia (being human).

Menjadi manusia baru adalah proses untuk menjadi lebih mandiri dan kian menyapih diri dari hukum-hukum agama dan tradisi etis, yang sebelumnya mungkin berfungsi sebagai "pengasuh" manusia.

KERANGKA pandang itu mengasumsikan, fitrah manusia itu baik dan sudah disertakan berbarengan dengan saat dia diciptakan tetapi dalam bentuk "embrio" organis. Dalam fitrah termaktub benih-benih kebaikan manusiawi dan benih-benih keilahian, karena manusia dicipta dari "tanah" dan dihembusi Roh oleh Allah.

Hembusan Roh Allah atau benih keilahian inilah yang menjadi pelita (membimbing) manusia untuk memekarkan fitrah yang diterimanya dalam bentuk benih sejak penciptaan dirinya. Dalam perspektif Kristiani kerangka pandang itu mengandaikan, "status dasar ke-manusia-an" itu baik dan bibit baik-nya sudah disertakan sejak dia diciptakan, tetapi juga masih dalam bentuk "embrio" organis.

Sebagaimana dalam "fitrah", dalam "status dasar ke-manusia-an" (sebagaimana saat dilahirkan) ini benih-benih kebaikan manusiawi sekaligus benih Ilahi sudah disertakan karena manusia diciptakan seturut citra Allah.

Ke-citra Allah-an inilah yang membimbing manusia untuk memekarkan kemanusiaan-keIlahiannya yang diterimanya sebagai embrio organis dalam penciptaan. Etika hidup sosial (bagaimana memperlakukan orang lain, menghormati kehidupan orang lain, dan berhidup sosial) mengalir atau terajut dari usaha-usaha tiap individu guna memekarkan embrio fitri yang ada dalam dirinya.

Dengan demikian kembali menjadi manusia baru, atau menjadi seperti kanak-kanak memang bukan proses regresif, tetapi proses progresif. Artinya, proses untuk memekarkan fitrah atau ke-manusia-an, yang kita terima dari Allah (Alpha), yang di dalamnya ada embrio kebaikan manusiawi dan keilahian, untuk mencapai fitri, untuk menjadi manusia baru, untuk menjadi seperti kanak-kanak, karena inilah jalan untuk menuju ke suatu persekutuan dengan Allah (Omega). Allah adalah asal (alpha) dan tujuan (omega) fitrah manusia. Perspektif semacam ini sepikir dengan ide-ide besar modern seperti self-actualization atau self-authentication.

Sejarah, rentang waktu, atau peradaban, dengan demikian, bukan merupakan rentetan event yang menyapih atau menjarakkan kita dari fitrah, tetapi sebagai untaian event yang mengantar kita menuju fitrah.

Robertus Wijanarko Rohaniwan, sedang menempuh studi lanjut bidang Filsafat di DePaul University, Chicago, USA