Saturday, January 15, 2005

Artikel: Pudarnya "Imagined Community"

Pudarnya "Imagined Community"

Oleh Robertus Wijanarko

Nations, however, have no clearly identifiable births, and their deaths, if they ever happen, are never natural. (Benedict Anderson)

MOMEN kelahiran nasion memang tidak pernah teridentifikasi secara gamblang. Nasion lahir sebagai sebuah produk (strategi), karena itu kematiannya juga terjadi karena diproduksi, bukan terjadi sendiri secara alamiah.

Kematiannya disebabkan suatu tindakan, keputusan, atau strategi (sosial-budaya-politik) tertentu. Surutnya perasaan kesatuan sebagai nasion, kaburnya cita rasa akan identitas sebagai bangsa-entah secara spatial maupun kultural-atau memudarnya kesatuan cita-cita yang hendak diraih, selalu disebabkan rangkaian tindakan, keputusan, atau strategi sosial, budaya atau politik tertentu.

Untuk meneliti kebenaran dan memahami relevansi pemikiran Benedict Anderson, bagi Indonesia, kita perlu menelusuri gagasan-gagasan yang diajukan tentang nasion sebagai imagined community (komunitas terimaji), dan tentang bagaimana tumbuhnya kesadaran akan nation dari bangsa Indonesia, sebagaimana disajikan dalam karyanya yang kian mendapat tempat di antara pemikir Eropa dan Amerika, Imagined Communities.

Definisi antropologisnya Benedict Anderson menunjukkan, nasion, pertama-tama, adalah sebuah imagined community, karena tidak semua anggotanya pernah (akan) saling kenal, bertemu, atau mendengar, meski dalam benak mereka selalu tumbuh kesadaran, mereka merupakan suatu persekutuan.

Kedua, betapapun besar komunitas yang terimaji, selalu ada batas teritori (limited), yang memisahkan nasion itu dengan nasion-nasion yang lain.

Ketiga, komunitas terimaji itu komunitas yang berdaulat (sovereign), karena konsep itu lahir dalam konteks era sekularisasi, atau dalam rumusan Anderson "born in an age in which Enlightenment and Revolution were destroying the legitimacy of the divine-ordained, hierarchical dynastic realm". (Benedict Anderson, Imagined Communities, 7)

Keempat, nasion selalu terimaji sebagai sebuah komunitas (community), sebab meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, nasion selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam.

Anderson menengarai, embrio sense of nation di Indonesia berawal dari ditinggalkannya sikap indiferent inlanders sebagai kaum terjajah. Meski kita tidak bisa membidik secara akurat kapan momen kelahiran kesadaran itu tumbuh, demikian Anderson, kesadaran itu secara perlahan mulai digenggam kaum muda terpelajar, yang berkat kemampuannya memahami bahasa Belanda (bilingual), mempunyai akses, entah melalui ruang kelas atau pergaulan dengan kaum penjajah, ke soal-soal atau tema-tema berskala internasional, antara lain kesadaran akan identitas, bahasa, dan nasionalisme a la Eropa, yang pada gilirannya mencerahkan budi kaum muda cendekia bangsa Indonesia dan memutus sikap indiferent. Pencerahan budi yang menggugah kesadaran akan identitas dan kedaulatan, yang dipompa semangat, energi, dan imajinasi sebagai ciri "kemudaan" kaum muda terpelajar, inilah yang lalu saling di-sharing-kan, ditukar dan ditularkan melalui bahasa.

Kesadaran akan kesatuan identitas yang terakit melalui "media" bahasa dengan sendirinya menempatkan "bahasa penyatu" (kesatuan) sebagai prasyarat yang tak dapat dielakkan (conditio sine qua non) untuk membangun identitas dan mengikat komunalitas. Karena itu bukan tanpa alasan, kaum muda tercerahkan ini menganonisasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau nasional.

ANALISIS antropologis Benedict Anderson ini membuktikan, pertama, bahasa memainkan peran signifikan dalam proses kelahiran nasion. Bahasa-lah yang mencerahkan kaum muda terpelajar sekaligus menghantar mereka kepada ide-ide besar, yang pada gilirannya menghentikan sikap indiferent. Bahasa pula(!) yang merakit kisah-kisah kaum inlanders muda, yang menggumpal menjadi kesadaran akan kesatuan identitas, yang lalu berkembang menjadi kesadaran akan nasion. Sementara emblem-emblem lain merupakan tambahan yang meramaikan sekaligus menegaskan!

Kedua, studi Benedict Anderson juga menunjukkan, identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak pertama-tama muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, tetapi lebih merupakan "strategi" (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduk, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang diimposisikan kekuatan penjajah.

Karena itu, benar apa yang ditegaskan Soekarno saat mengutip Ernest Renan: "Nationalism! To be a nation! It was no later than the year 1882 that Ernest Renan published his idea of concept of ’nationhood’". "Nationhood", according to this author is a spirit of life, an intellectual principle arising from two things: firstly, the people in former times had to be together to face what came, secondly, the people now must have the will, the wish to live and be one. Not race, nor language, nor religion, nor similarity of needs, nor the borders of the land make that nation…. (Holtsappel, Nationalism, 74)

Nasionalisme merupakan wacana untuk menggugat identitas diri yang diimposisikan penjajah, memugar kesadaran diri yang baru, dan menegosiasi pola relasi baru (dengan "penjajah") berdasar kesadaran diri yang baru itu. Nasionalisme merupakan strategi sosial-budaya-politik yang digunakan sebagai kendaraan untuk melawan imperialisme.

Ketiga, energi intrinsik golongan muda terpelajar Indonesia, yang menyembul dalam sikap-sikap yang berani untuk menggugat status dan pola relasi mapan yang diimposisikan, mengkritisi keadaan berdasar pemahaman-pemahaman baru, mengartikulasikan dan mengonsolidasikan kesadaran dan keyakinan, dan membangun jaringan–jaringan kesadaran akan identitas, merupakan élan vital bagi berkembangnya (dan sustainabilitas) gagasan tentang nasion.

STUDI antropologis Benedict Anderson tentang lahirnya nasion (imagined community) di Indonesia menunjukkan, nasion lahir sebagai produk, merupakan strategi sosial-budaya-politik guna menghadapi penjajah, karena itu kematiannya tak pernah terjadi dengan sendirinya atau secara natural, tetapi disebabkan suatu produk, suatu "deformasi" strategi sosial-budaya-politik yang terwujud dalam tiap tindakan dan keputusan sosial-budaya-politik dari pihak-pihak yang punya akses ke kebijakan publik, kekuasaan, dan pengaruh.

Bukankah keluhan-keluhan tentang merosotnya semangat nasionalisme (kalau benar)-kendornya ikatan sosial dan rasa solidaritas yang tercermin dalam tindakan menindas-menguras-memanipulasi guna melanggengkan status sosial? Lunturnya kesadaran akan kesatuan identitas yang tampak pada sikap-sikap egois dan mencari keuntungan sendiri, kaburnya imaji akan batas wilayah teritorial nasional yang tercermin pada meningkatnya semangat kedaerahan atau primordial atau kesukuan, surutnya semangat persaudaraan yang terlihat dalam konflik sosial berdasar sentimen agama-golongan sosial-etnik, disebabkan deformasi strategi sosial-budaya-politik tanpa visi sistematis (strategis), yang tercermin dalam kebijakan dan keputusan publik yang serampangan, yang menepikan cita rasa persaudaraan dan kesadaran sebagai sebuah tubuh atau komunitas yang disebut nasion, yang sarat vested interests dan agenda-agenda sempit tersembunyi?

Dengan kata lain, lunturnya semangat nasionalisme, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru diproduk penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah kuman yang membusukkan sel-sel yang menjadi daya hidup yang disebut nasion.

Akhirnya kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggelisahkan: dengan senjata apakah kita menghadapi kembalinya gelombang kolonialisme yang lebih dahsyat dengan wajah perdagangan (kapitalisme) global, sementara imagined community tiba-tiba menguap seperti asap? Dengan bahasa dan wacana macam apa kita memproduksi dan terus mereproduksi identitas kita, peran kita, pola relasi kita dengan kaum kapitalis global, sehingga kita tidak sekadar mengikuti nada yang diskema kaum kapitalis. Dengan bahasa, apa kita akan menuliskan narasi kehidupan atau eksistensi kita sebagai "nation"?

Robertus Wijanarko Mahasiswa S3 bidang Filsafat di DePaul University, Chicago