Monday, January 17, 2005

Artikel: Culture of Pandering

Culture of Pandering

In too many areas we have spawned ‘leadership’ that does not lead, that panders to our whims rather than telling us the truth, that follows the crowd rather than challenging us, that weakens us rather than strengthening us. It is easy to go downhill, and we are now following that easy path. Pandering is not illegal, but it is immoral. It is doing the convenient while the right course demands inconvenience and courage- Paul Simon.

Dalam sebuah karyanya, Our Culture of Pandering, Paul Simon, seorang mantan senator dan direktur program Public Policy Institute di Southern Illinois University USA, mensinyalir bahwa masa depan demokrasi Amerika perlahan-lahan dibusukkan oleh apa yang dia sebut “Culture of Pandering.” Istilah Pandering merupakan kata bentukan dari sebuah nama tokoh dalam cerita Yunani, Pandaros, yang dalam terminus Latin diterjemahkan Pandarus, yang kemudian dalam bahasa Inggris modern didefinisikan sebagai: (1) to act as a go-between or liaison in sexual intrigues and (2) to cater to the lower tastes and desires of others or to exploit their weaknesses.

Berangkat dari definisi tersebut Simon melukiskan bahwa para politikus Amerika, media massa, para pemimpin religius, dan bahkan kalangan pendidik telah terbiasa hidup dalam culture of pandering, dan dengan demikian semakin terasing dari tanggung jawab mereka sebagai leader. Editorial media massa, menurut Simon, hampir tidak pernah mengkritisi kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang popular, tetapi tidak mendatangkan kebaikan bagi masa depan bangsa. Paul menulis “the media are giving the public what it wants.” Pandering dalam media didasarkan pada dua pamrih, menaikkan rating atau sirkulasi dan meraup keuntungan sebanyak mungkin.

Budaya yang senada juga tumbuh subur dikalangan para pemimpin agama. Banyak pemimpin agama tidak berani menunjukkan sikap tegas atau mengartikulasikan kritik yang tidak populer. Sebaliknya, mereka malahan cenderung menyenangkan dan membius (:“to pander”) jemaatnya, terutama mereka yang terlibat aktif dalam komunitas religius mereka. Dengan hanya menyajikan apa yang populer dan disenangi umat sebenarnya para pemimpin religius itu mangasingkan jemaat dari realitas kehidupan mereka, hanya demi alasan supaya mereka tidak lari ke komunitas lain. Paul mengatakan “we somehow think we are ‘being religious’ when we add the words ‘under God’ to the pledge of allegiances, or get into a dispute in trying to post the Ten Commandments at a local school, but the real test of faith is not what we mouth but what we do.” Dengan demikian para pemimpin agama itu telah melacurkan identitasnya dari seorang leader menjadi pleaser. Kecenderingan pandering dalam komunitas religius ini didasarkan pada asumsi bahwa mempunyai jemaat yang banyak itu merupakan tanda keberhasilan suatu komunitas religius dan dengan demikian mendapat pemasukan dana yang lebih.

Selanjutnya dalam dunia pendidikan Paul Simon mengamati bahwa mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan telah terpesona oleh tugas harian yang rutin dan terlena akan tugas jangka panjang seorang pemimpin yang punya keberanian. Secara tajam dia merumuskan :’The excessive use and abuse of academic jargon within the higher education community is an example of pandering internally, producing articles in isolated fields that meet the ‘publish or perish’ criteria but are read by few and contribute as close nothing as you can get. It is not only the time wasted in writing these almost unreadable articles for tenure, salary, and prestige purpose, this pandering also takes academicians –and inevitably their students-away from the real world.”

Menurut Simon tumbuh suburnya ”culture of pandering” dalam kehidupan politik Amerika juga gampang ditengarai. Simon menegaskan bahwa banyak pemimpin politik, yang berorientasi hanya untuk kepentingan pribadi, rajin menyimak pikiran rakyat dan apa yang populer, supaya bisa mengarahkan opini publik, dan mengaburkan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan nyata dari rakyat. Kebutuhan untuk mengeruk dana untuk kampanye dan kegiatan politik lainya, juga menggiring para pemimpin politik sekedar menjadi pleaser daripada leader. Selain memalsu apa yang seolah-olah menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, yang mereka respon dengan janji-janji yang juga palsu, -karena bukan menyangkut kebutuhan otentik rakyat, para pemimpin politik ini seringkali berhasil “menyulap” apa yang seolah-olah menjadi kebutuhan dan aspirasi rakyat yang dikemas dalam jargon-jargon politik dan program-program politik yang tidak pernah menyentuh dan menjawabi kebutuhan nyata dari rakyat. Para politikus yang dijangkiti budaya pandering ini mahir menyapih rakyat dari realitas atau kesadaran dan kebutuhan asli mereka; mereka terasing dari hakekat mereka sebagai “leader” yang mestinya mempimpin (to lead).

Hasil studi Paul Simon ini merupakan sumber yang patut dilirik untuk menyimak dan mencermati budaya atau perilaku para pemipin kita, terlabih di saat mereka sedang asyik berkiprah dan mabok di panggung-panggung kapanye menjelang pemilu. Penulis mengambil contoh fenomena sosialisasi partai atau kampanye dialogis yang dikemas dalam bentuk “diskusi politik” yang sedang marak di komunitas-komunitas Indonesia di Amerika. Beberapa waktu lalu penulis diminta untuk menjadi salah satu pembahas dalam sebuah diskusi semacam ini, dan masih diundang lagi untuk menghadiri “diskusi politik” yang akan datang. Dari beberapa diskusi yang penulis amati, beberapa tokoh politik lebih banyak mengelola sentimen-sentimen yang terkait dengan politik identitas kelompok, bahkan janji-janji untuk mengintroduksi ideologi baru, daripada mengetengahkan analisis komprehensip beserta jawaban program atas persoalan-persoalan nyata yang sedang menimpa bangsa kita. Seorang pemrasaran utama, yang berafiliasi dengan partai politik tertentu, antara lain mengatakan bahwa ketegangan etnik, persoalan SARA, dan kebobrokan moral bangsa kita hanya bisa diatasi kalau kita mengadopsi prinsip hukum dari tradisi agama tertentu (Syariat Islam). Pemimpin politik semacam ini berusaha merebut hati rakyat dengan sekedar mengelola fanatisme dan sentimen-sentimen identitas kelompok (agama) dengan mengajukan janji-janji yang klop dengan “kehausan” kebutuhan kelompok tertentu akan identitas eksklusif, seraya menafikkan akar-akar persoalan yang lebih otentik, lebih luas, dan lebih terkait dengan kebutuhan-kebutuhan yang lebih konkret dari rakyat keseluruhan. Dengan alasan untuk mendapatkan suara, politikus semacam ini sekedar menyenangkan (pleaser) sebagian kecil golongan rakyat, sambil mengasingkan rakyat dari persoalan yang lebih nyata, otentik, dan mendasar, yakni soal penataan kembali struktur sosial-ekonomi yang korup dan penertiban hukum, Pemimpin politik semacam ini semakin terasing dari panggilan mereka sebagai leader, dan merendahkan martabatnya sekedar sebagai pleaser. Wabah “culture of pandering” semacam ini semakin memprihatinkan jika mereka yang tampil sebagai pemimpin politik adalas sekaligus merupakan sosok pemimpin religious.

Selain itu, kecenderungan partai-partai politik untuk menyewa artis-artis tertentu, atau tokoh kharismatik tertentu, atau tokoh agama tertentu, untuk menyedot masa dan pemilih sehingga rakyat terbuai dan lupa akan aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan konkret mereka, juga merupakan manifestasi dari budaya pandering. Fenomena politik semacam ini selain mengalienasikan rakyat dari kebutuhan dan aspirasi konkret mereka, juga memberikan “permen karet” kepada rakyat, dalam arti selera dan kebutuhan rakyat dibelokkan ke selera dan kebutuhan yang lebih rendah. Dengan demikian para politikus yang terlibat dalam gerakan-gerakan semacam ini mengadaikan tugasnya sebagai pemimpin (leader), yang mampu membawa rakyat ke persoalan nyata dan sekaligus menunjukkan jalan dan harapan untuk keluar dari persoalan tersebut, dengan sekedar menjadi penggembira atau badut (pleaser), yang pekerjaannya hanya menyanyi, melawak, atau menari.

Kalau sendi-sendi demokrasi Amerika, yang sudah berproses dalam waktu relatif panjang, sebagaimana disinyalir Paul Simon, bisa dibusukkan oleh “culture of pandering”, apalagi bangsa kita yang sedang tertatih dan baru mulai membiakkan benih-benih dan prinsip demokrasi. Karena itu belajar mendekati persoalan konkret rakyat, belajar membuka pikiran mereka akan hak-hak mereka, belajar mengajak rakyat mendekati dan memeluk persoalan nyata mereka, dan belajar mencari solusi-solusi konkret atas persoalan bangsa, yang dikemas dan diatrikulasikan dalam program-program partai, merupakan benih-benih yang bisa membiakkan budaya demokrasi. Karena itu sudah saatnya bagi para pemipin politik atau agama, atau siapapun yang terlibat langsung dalam proses perjalanan bangsa, untuk belajar menjadi leader bukan pleaser.

Robertus Wijanarko, alumnus STFT “Widya Sasana” Malang, mahasiswa PhD bidang Filsafat, DePaul University Chicago.