Monday, January 17, 2005

Artikel: Residu Sebuah Mimicry

Residu Sebuah Mimicry

(Robertus Wijanarko)

Mimicry reveals something in so far as it is distinct from what might be called an itself that is behind. The effect of mimicry is camouflage…. It is not a question of harmonizing with the background, but against a mottled background, of becoming mottled –exactly like the technique of camouflage practiced in human warfare (Jacques Lacan).

Mimicry mulanya lebih dikenal sebagai istilah ilmu biologi, yang menggambarkan proses adaptasi warna, bentuk, atau perilaku suatu spesies dengan spesies lain. Ada bermacam alasan sebuah spesies ber-‘mimicry’: untuk menyembunyikan diri dari sergapan musuh, supaya tidak dikenali mangsa yang ditunggu dan hendak diterkam, atau alasan lainnya. Betapa sempurna proses adaptasi warna, bentuk, atau perilaku sebuah spesies, ia tetap spesies yang berbeda dari spesies yang ditirunya. Mimicry, dengan demikian, bukan proses meleburkan diri dengan spesies lain, tetapi merupakan proses untuk mempertahankan identitas dan eksistensi diri. Identitas otentik sebuah spesies tetap eksis dan tersembunyi dibalik perubahan warna, bentuk, atau perilakunya. Karena itu Jacque Lacan menegaskan, “Mimicry reveals something in so far as it is distinct from what might be called an itself that is behind.”

Istilah mimicry juga sering menghiasi wacan-wacana Teori Postcolonial dan Kajian Budaya. Homi Bhabha, dalam bukunya the Location of Culture, menggunakan istilah mimicry untuk melukiskan wacana dan strategi kolonial. Dengan merujuk (antara lain) studi antropologis tentang kebudayaan dan politik kolonial dari Benedict Anderson, yang dipublikasikan dalam “Imagined Communities”, Bhabha mengatakan bahwa wacana atau strategi mimicry kolonial bisa ditengarai dari sifat ambivalen dari wacana-wacana atau strategi-strategi tersebut. Proses adopsi (: adaptasi) nasionalisme di Indonesia, -dengan merujuk studi Benedict Anderson dan proposal Homi Bhabha, sebagai mesin perjuangan merupakan bentuk mimicry.

Nasionalisme: Sebuah Mimicry

Pergaulan kaum intelektual muda Indonesia, yang mengenyam pendidikan Belanda entah di Batavia maupun Netherlands, dengan pemikir-pemikir liberal, terutama tokoh-tokoh kelompok kiri sosial demokrat Belanda, dan pertemuan dengan karya-karya besar para pemikir tata negara modern, seperti Rousseau dan Ernest Renan, mendorong kaum muda terpelajar untuk mengadopsi nasionalisme sebagai wacana dan strategi perjuangan kemerdekaan.

Ada beberapa pertimbangan yang meletarbelakangi proses tersebut. Pertama, tumbuhnya kesadaran kolektif sebagai kaum tertindas yang berkembang menjadi kerinduan akan kedaulatan, kebutuhan akan sarana resistensi terhadap kaum penjajah, dan kebutuhan akan instrumen untuk membangun idenitas diri, membuka mata kaum intelektual terhadap kebutuhan akan mesin sosial-budaya-politik yang mampu mewadahi, menjinjing, dan menyuburkan kesadaran-kesadaran dan kebutuhan tersebut. Kedua, mesin sosial-budaya-politik yang dibutuhkan tersebut harus mampu menjawabi dua kebutuhan mendasar sebagai bangsa yang tengah berjuang, yang harus diatasi secara serempak, yakni kebutuhan akan kesatuan “spirit” yang bisa mengatasi ancaman perpecahan karena sentimen primordial dan kebutuhan akan ideologi perjuangan dan identitas, manajemen atau organisasi tata negara baru, yang berorientasi ke masa depan. Ketiga, mesin sosial-budaya-politik tersebut harus mempu memberikan resonansi ke komunitas dunia international dan bisa menumbuhkan simpati dan dukungan dari komunitas international yang lebih luas. Artinya, mesin sosial-budaya-politik tersebut juga merupakan hal yang menjadi konsern komunitas internasional. Keempat, mesin sosial-budaya-politik tersebut harus bisa menjadi payung perjuangan bangsa Indonesia yang bisa menjadi “perisai” atas tindakan dan kebijakan-kebijakan represif penjajah dan sekaligus bisa “membusukkan” mesin kekuasaan mereka. Selain itu ia harus mampu menjadi sarana representasi untuk mengukir dan membangun identitas diri.

Mengapa kaum intelektual muda Indonesia menganggap nasionalisme mampu menjawab dan mewadahi aneka kebutuhan tersebut? Kita bisa menyimak pertama-tama pendapat Ernest Renan tentang nasion, “A nation is a soul, spiritual principle. Two things, which in truth are but one, constitute this soul or spiritual principle. One lies in the past, one in the present. One is the possession in common a rich legacy of memories; the other is present-day consent, the desire to live together, the will to perpetuate the value of the heritage that one has received in an undivided form (Homi Bhabha, Nation and Narration, 19). Gagasan tentang nasion Ernest Renan ini mengisyaratkan bahwa pembangunan sebuah nasion harus didasari oleh suatu visi atau orientasi ke depan. Tanpa menampik perlunya menggenggam memori kolektif masa lalu, Ernest Renan menegaskan bahwa jiwa sebuah bangsa harus dilandasi oleh keinginan untuk hidup bersama dan kemauan meneruskan warisan nilai-nilai. Dengan kata lain, yang menjadi daya penyatu dan daya hidup sebuah nasion adalah suatu “spirit” (the desire dan the will) untuk mencipta identitas dan meproduk sejarah baru. Ideologi perjuangan semacam inilah yang diyakini mampu mewadahi, menjinjing, dan menyuburkan aneka kesadaran yang teruntai dalam semangat perjuangan kemerdekaan. Mengingat bahwa nasionalisme merupakan ide yang mulanya lahir di dunia barat dan menjadi konsern negara-negara barat, pengadopsian nasionalisme sebagai ideologi perjuangan memberikan beberapa keuntungan, yakni memberikan resonansi bagi komunitas negara-negara barat tersebut dan menumbuhkan perasaan simpati yang kemudian mengristal menjadi aneka bentuk dukungan.

Pengadopsian nasionalisme sejatinya adalah bentuk mimicry. Kaum intelektual muda Indonesia sengaja mengadopsi ideologi perjuangan (nasionalisme), yang pernah digunakan Belanda untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan atas penjajah Perancis, yang senantiasa terus didengungkan dalam benak kesadaran orang-orang Belanda, juga di tempat-tempat mereka menjajah, termasuk Indonesia. Dengan mengenakan ideologi perjuangan yang pernah digunakan Belanda, dengan mendengungkan kesadaran akan nasion sebagaimana yang didegungkan pemerintah Belanda kepada orang-orangnya, dengan mengadopsi mesin sosial-budaya-politik sebagaimana yang digunakan Belanda untuk memproduk identitas yang berdaulat, kaum intelektual muda Indonesia sedang mengadopsi warna, bentuk, dan perilaku bangsa Belanda sebagai sarana (1) untuk mengukir identitas diri yang berdaulat , (2) yang mampu memberikan resistensi dan perisai terhadap bidikan atau represi penjajah Belanda, dan (3) membusukkan mesin kekuasaan Belanda. Jejak-jejak usaha ini juga ditengarai oleh Benedict Anderson, “rather than simply absorb and adapt Dutch partially, to reinforce Javanese tradition, the younger intelligentsia, drawn mainly into the profession, was to build on the older generation’s experience and advance to the radical absorption of Dutch as a “whole” –including the metropolitan spectrum of Dutch culture- and consequently, in the long run, to destroy Dutch colonial power from within” (Language, 135-136). Singkatnya, nasionalisme diadopsi oleh kaum muda Indonesia untuk membangun dan melestarikan identitas dan “menyembunyikan” perjuangan dari bidikan kekuatan Belanda.

Residu Mimicry

Ide bahwa kesatuan sebuah nasion diikat oleh kesatuan cita-cita dan kehendak hidup bersama merujuk pada kebutuhan akan perangkat hukum dan sistem sosial dan politik sebagai landasan hidup bersama. Kebutuhan akan perangkat dan prinsip objektif, sebagai cermin idealisme budaya barat yang melahirkan ide nasionalisme, menyisakan persoalan (residu) karena perasaan identitas masyarakat Indonesia lebih diikat oleh sentimen kesatuan etnik, status sosial dan agama. Akibatnya, ada ketegangan antara prinsip hukum, sosial, dan politik dengan mentalitas bangsa kita. Undang-undang dan hukum diciptakan, tetapi sentimen etnik, status sosial dan agama tetap menjadi landasan utama dalam berkehidupan sosial dan politik.

Slogan-slogan nasionalisme dan instrumen-intsrumen yang dimobilisasi untuk mengembangkan semangat nasionalisme dan identitas nasional (lembaga pendidikan dll) lebih berfungsi sebagai mesin sosial untuk “menertibkan-mendisiplinkan” rakyat daripada mesin representasi untuk mengekspresikan dan memproduk identitas diri. Residu semacam ini berakar pada ketegangan, di satu pihak, budaya kita adalah budaya feodalistik-paternalistik, dimana simbol-simbol dan perangkat sosial-politik merupakan perangkat untuk mengabdi “raja” (penguasa) daripada sebagai wadah-saluran aspirasi dan eskpresi rakyat; di pihak lain, nasionalsime sebenarnya dimaksudkan sebagai mesin representasi sosial.

Identitas Indonesia baru dan kebudayaan nasional mestinya diproduksi oleh mesin sosial-budaya-politik tersebut (nasionalisme). Namun yang terjadi adalah adanya kevakuman identitas dan kebudayaan nasional. Identitas dan budaya nasional sering hanya diasosiasikan dengan “himpunan” kebudayaan-kebudayaan atau identitas lokal, etnik atau agama yang cenderung tidak mempunyai resistensi atau tidak akomodatif terhadap kebudayaan transnasional. Residu-residu semacam ini merupakan ekses dari pengadopsian atau proses “mimicking” nasionalisme barat, yang perlu segera disembuhkan.

Robertus Wijanarko, mahasiswa S3 Filsafat, DePaul University, Chicago USA.