Monday, January 17, 2005

Arrtikel: Hegemoni Agama dan Pembanguna Demokrasi

Hegemoni Agama dan Pembangunan Demokrasi

While no one is expected to put his or her religious or non religious doctrine in danger, we must each give up forever the hope of changing the constitution so as to establish our religion’s hegemony, or of qualifying our obligations so as to ensure its influence and success (John Rawls)

Artikel Masdar Hilmy “Mazhab Ketiga” Reposisi Agama dalam Ruang Publik dalam harian KOMPAS (Kompas, 5/11 2004) sungguh melegakan. Makna artikel tersebut selain karena kandunganya yang dalam dan benderang, juga karena ditulis oleh seorang intelektual dari lingkungan Islam sendiri, dan dimaksudkan untuk mengkritisi kecenderungan hegemonik atau totalitarianistik dari komunitas agama mayoritas yang mendominasi wacana dan proses-proses penataan ruang publik. Artikel tersebut melegakan karena diartikulasikan dengan semangat “compassion” terhadap perasaan kelompok minoritas yang semakin hari menggenggam perasaan tercecer dan ditinggalkan karena kurang disertakan dalam proses-proses penataan posisi agama dalam ruang publik dan dalam proses penataan kehidupan bernegara.

Tetapi mengapa suara kelompok minoritas tergusur oleh derap wacana yang hegemonik dan totalitariansitik, dan tercecer dalam proses-proses penataan ruang publik dan proses-proses penataan kehidupan bernegara? Hal itu pertama-tama disebabkan oleh proses-proses politik yang tidak transparan dan tidak demokratis yang dinahkodai oleh sebagian kalangan yang mengatasnamakan diri suara kelompok mayoritas. Kita masih sepakat bahwa dasar negara kita Pancasila. Konstitusi dan sumber produk hukum kita masih UUD 1945. Wacana-wacana tentang konstitusional atau tidaknya penerapan syariat Islam di NKRI juga belum final. Tetapi atas pertimbangan kompromi dan “konsesi” politik, Syariat Islam diterapkan di beberapa wilayah negara kesatuan republik Indonesia. Malahan, dengan memanfaatkan beberapa momentum tersedotnya perhatian masyarakat ke isue-isue politik yang lain, tindakan-tindakan politik tidak transparan (deceiving) untuk “menyisipkan” hukum atau doktrin agama tertentu dalam peraturan-peraturan pemerintah dan produk hukum yang mengatur kehidupan publik semakin intensif. Jaringan-jaringan birokrasi dan sejumlah perangkat penegak hukum juga sudah dimobilisasi untuk mendukung penerapan peraturan dan produk hukum tersebut. Perasaan tersingkir kelompok minoritas juga diperparah oleh berbagai teror psikologis oleh kelompok-kelompok yang mengklaim diri sebagai suara mayoritas yang gelombangnya makin luas dalam bentuk mobilisasi masa anarkis, yang menghancurkan ruang-ruang berkumpul kelompok minoritas dan bahkan sampai penghancuran tempat-tempat beribadah. Teror psikologis ini seolah menjadi lengkap ketika pihak-pihak yang berwenang tidak menunjukkan ketegasan dalam menghukum mereka yang terlibat, yang oleh para pangacau tersebut ditafsirkan sebagai sikap setuju, suportif, dan mengayomi mereka.

Memang kontroversi tentang tindakan-tindakan dan proses politik tersebut, ditilik dari cita-cita dan watak Negara Kesatuan Republik Indonesai, masih menjadi wacana dan beban sejarah yang belum tuntas. Namun tulisan yang dimaksudkan untuk meramaikan wacana publik ini akan lebih memberikan fokus tinjauan ke konteks bangsa kita yang sedang membangun budaya dan sistem kehidupan bernegara yang demokratis. Beberapa pertanyaan bisa diajukan: sungguhkah intensitas gerakan-gerakan agama mayoritas, dan tindakan-tindakan politik “sneaky” dari beberapa kalangan yang mengklaim sebagai penyambung suara mayoritas Islam, merupakan ekspresi partisipasi politik yang berakar pada kesadaran dan aspirasi bulat kelompok mayoritas, dan dengan demikian merupakan wujud mekarnya budaya demokrasi? Andaikan alasanya memang demikian, apakah ekspresi-ekspresi berlebihan yang tidak dialogis dan tidak transparan dari komunitas-komunitas religius agama mayoritas dan proses-proses produksi kebijakan publik yang tidak transparan, tidak mengaborsi proses pembiakan benih-benih budaya dan sistem kehidupan demokrasi yang kita cita-citakan? Ataukah memang tabiat kelompok agama mayoritas (apapun jenis agama kelompok mayoritas itu) dari kodratnya tidak mungkin menjadi partner negara untuk membangun budaya demokrasi?

Benarkah cita-cita untuk mengintroduksi Syariat Islam atau bentuk-bentuk kehidupan berdasarkan hukum dan doktrin Islam, beserta perangkat kontrolnya, merupakan kerinduan mayoritas bangsa Indonesia yang sedang dibuai oleh cita-cita untuk membangun demokrasi? Sungguh sulit dibayangkan bahwa tindakan “menghadiahkan” otoritas kepada penguasa untuk punya kontrol atas kehidupan agama, kehidupan sosial dan personal yang lain murni berasal dari aspirasi dan kebutuhan riil dari masyarakat. Bukankah dengan memberikan otoritas kepada penguasa untuk mengontrol kehidupan personal mereka, dalam hal ini segala hal menyangkut penghayatan agama, masyarakat sesungguhnya malah memangkas wilayah otoritas mereka sendiri dan membiarkan penguasa punya kontrol atas kehidupan mereka, pun wilayah kehidupan yang paling personal? Bagaimana pembiakan benih-benih budaya demokrasi dan proses belajar menjadi masyarakat madani bisa dilakukan dan masyarakat bisa mempunyai kekuatatan dan daya resistensi, jika mereka memberikan otoritas kepada penguasa untuk mengurus dan mengontrol dan menggunakan sarana-sarana “law inforcement”, yang daya penetrasinya mampu menjangkau dan mengawasi wilayah-wilayah paling personal dari kehidupan mereka, bahkan kehidupan batin mereka? Karena itu tindakan-tindakan politik menyelundupkan hukum agama ke dalam produk-produk hukum dan peraturan publik yang mampu merambah kehidupan personal masyarakat, sepertinya tidak bersumber dari aspirasi riil dari masyarakat luas. Tindakan-tindakan politik semacam itu justru tidak seiring dengan aspirasi masyarakat yang ingin memberdayai diri, mengurus dirinya, dan yang belajar mengurangi internvensi dari pemerintah atas kemerdekaan kehidupan mereka?

Pemikiran tersebut bukan sekedar proposisi spekulatif-logis, tetapi mendapatkan dasar peneguhan dan perluasan argumentasinya dari watak terdalam Islam sendiri sebagai agama yang bersifat polyinterpretable. Meskipun Islam nampak sebagai agama yang monolitik, tetapi bentuk dan ekspresinya berbeda-beda, baik pada masing-masing individu maupun masing-masing kelompok. Sifat Islam yang polyinterpretable ini juga menentukan bagaimana Islam, khususnya pandangan tentang syariah, harus dipahami. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keragaman pemahaman individu terhadap syariah. Kondisi sosiologis, budaya dan intelektual, atau apa yang disebut Arkoun sebagai “aesthetic of reception,” merupakan unsur vital dalam menentukan bentuk dan substansi interpretasi. “Aestetic of reception” dengan demikian menunjuk pada pemahaman bagaimana suatu diskursus, baik lisan maupun tulisan, diterima oleh pendengar atau pembacanya. Kecenderungan intelektual yang berbeda akan berpengaruh terhadap usaha memahami syariah, sehingga akan menyebabkan interpretasi yang beragam mengenai doktrin tertentu. Hal ini dapat terjadi misalnya dalam hal pemahaman terhadap makna doktrin yang secara literer diekspresikan dalam teks, atau dalam menemukan prinsip umum mengenai doktrin melampaui ekspresi literal dan tekstualnya. Jadi, sekalipun prinsip-prinsip umum syariah itu diterima, orang-orang muslim tidak hanya cenderung kepada satu bentuk interpretasi semata.

Munculnya sejumalah aliran pemikiran dalam hukum Islam serta berbagai aliran teologi dan filsafat, membuktikan bahwa ajaran Islam itu polyinterpretable. Sepanjang sejarah, hakekat Islam yang polyinterpretable telah berfungsi sebagai basis fleksibilitas Islam. Hal ini juga menunjukan keharusan pluralitas dalam tradisi Islam. Tambahan lagi, para penafsir harus juga mempertimbangkan pengaruh konteks sosiologis ketika menginterpretasikan wahyu Tuhan. Tidak ada interpretasi, sekalipun diapandang paling benar, yang terbebas dari pengaruh tersebut. Para teolog dan ahli hukum terdepan abad pertama Islam, yang pendapat-pendapatnya dipandang final dalam tradisi-tradisi muslim, pun tidak terbebas dari pengarush konteksnya. Formulasi dan interpretasi mereka harus dipandang sebagai jawaban historis jamannya, dan tidak dapat dipisahkan dari keterbatas-keterbatasanya. Dengan demikian setiap interpretasi Kitab Suci mewakili etos jamannya. Syariah tidak menampik pandangan dan pendapat manusia. Untuk alasan inilah maka terdapat banyak aliran hukum yang berbeda satu sama lain dalam berbagai hal. Berbagai madzab hukum yang ada tak lebih merupakan refleksi evolusi kehidupan dalam dunia Islam dan aliran-aliran ini berubah dan berkembang menurut kondisi dan situasi. Pemikir Islam awal, Ibn Taymiyah, pun mengakui perlunya perubahan dengan adanya perubahan konteks, dan atas dasar inilah dia berargumen bahwa dictum agama dapat berubah sesuai berubahnya waktu. Tak kurang seorang pemikir ortodoks seperti dirinyapun berpendapat, adalah merupakan suatu kewajaran bahwa suatu hukum (dictum) harus berubah dengan berubahnya konteks historis dan sosiologis.

Dengan demikian tuntutan sekelompok aliran Islam di negara kita untuk mengintroduksikan Syariat Islam dan ajaran-ajaran hukum dan doktrin Islam versi mereka ke dalam setiap produk hukum dan peraturan yang mengatur kehidupan publik jelas-jelas mengingkari watak Islam yang terdalam yang memberi ruang pada polyinterpretasi tersebut. Mengingkari sifat polyinterpretable Islam, yang merupakan ranah subur persemaian sikap pluralistis, egalitarian, inklusif, dan demokratis, dengan mereduksikanya ke dalam penafsiran tunggal versi “Islam penguasa” justru akan mengaborsi potensi luar biasa agama Islam untuk berpartisipasi membangun mentalitas dan budaya demokrasi. Karena itu, usaha untuk mengintroduksi Syariat Islam sebagai prinsip untuk mengatur kehidupan bernegara agaknya bukan berasal dari aspirasi bulat kelompok Islam mayoritas yang dalam dirinya sudah beragam.

Selanjutanya, penyelundupan hukum agama tertentu dalam produk-produk hukum dan peraturan-peraturan publik yang kemudian diimposisikan untuk mengatur kehidupan bersama juga menyimpan potensi mencederai prinsip keadilan dan tidak sejalan dengan semangat untuk membangun kehidupan yang demokratis, karena ketika produk-produk hukum diimposisikan dari tradisi agama tertentu, yang sejatinya dimaksudkan untuk mengakomodasi dan melindungi aspirasi golongan agama tersebut, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan produk hukum tersebut juga bersifat adil terhadap anggota masyarakat dari agama atau kelompok lain. Karena itu John Rawls dalam The Law of peoples menegaskan,”except by endorsing a reasonable constitutional democracy, there is no other way fairly to ensure the liberty of its adherents consistent with the equal liberties of other reasonable free and equal citizens” (John Rawls, The Laws of Peoples, 151). Hegemoni agama mayoritas yang diinstitusikan melalui imposisi hukum atau doktrin agama tersebut secara logis menyimpan ketidakadilan karena tentu kepentingan tradisi agama tersebut yang dikedepankan. Karena itu tindakan-tindakan politik semacam ini hanya akan mengantar agama menjadi institusi yang secara sistematis dan permanen menopang bentuk-bentuk ketidakadilan.

Selanjutnya proses-proses produksi hukum dan peraturan publik yang tidak transparan, yang memanfaatkan kelengahan publik, atau paling tidak memanfatkan ketidak berdayaan politik dari kelompok-kelompok lain karena keterbatasan akses politik, juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan komitmen untuk membangun sistem dan budaya demokrasi yang terbuka dan kuat, karena proses-proses semacam itu menepikan pentingnya wacana-wacana rasional, yang merupakan elemen penting untuk menghasilkan produk hukum dan peraturan publik yang selalu bersifat provisional dan kontekstual. Imposisi hukum agama dalam kehidupan publik dengan masyarakat yang plural, yang disertai dengan tindakan memobilisasi perangkat hukum justru hanya akan menegaskan wajah agama yang formalistik-legalistik, dan menjauhkan manusia dari hati nuraninya sendiri. Selain itu, proses semacam itu juga mengabaikan pentingnya kebutuhan untuk melibatkan semua pihak dalam menghasilkan produk hukum dan peraturan publik, padahal mereka inilah yang akan terkena oleh produk hukum dan peraturan publik tersebut. Hal ini tidak sekedar menimbukan “rasa tidak dilibatkan” dari golongan-golongan yang tersingkir, tetapi sesungguhnya sudah menggerogoti bobot legitimate dari hukum dan peraturan publik tersebut, dan juga melanggar prinsip keadilan karena mengabaikan aspirasi dari anggota masarakat yang lain, biarpun kecil golongan masyarakat tersebut.

Wacana publik merupakan nafas kehidupan demokrasi. Beredarnya “bahasa” (: debat, diskusi, dialog) di setiap sektor kehidupan publik tidak boleh dihentikan oleh aneka bentuk kekerasan, entah kekerasan yang visible maupun dalam bentuk peraturan atau produk hukum “totalitarianistik” yang dibuat tidak transparan. Sebaiknya pembangunan ruang wacana yang sehat, sebagaimana dirindukan oleh Masdar Hilmy dan banyak pihak, termasuk golongan intelektual muda dari berbagai latarbelakang, perlu didukung semua pihak. Karena wacana-wacana semacam inilah yang bisa menumbuhkan sikap inklusif dan mengawal bangsa kita membangun budaya dan sistem demokrasi, serta mengusik nurani dan mengasah pikiran kelompok-kelompok yang secara diam-diam memaksakan kehendaknya, untuk menginstitusikan hegemoni agama.

Syafa’atun Almirzanah, dosen fakultas Ushuluddin Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja di Interfidei, mahasiswa PhD bidang Teologi di Chicago, USA.

Robertus Wijanarko, rohaniwan katolik, menempuh program doktor bidang Filsafat, di DePaul University Chicago, USA.