Rumah
lama kutinggalkan rumah ini...
tempat aku tumbuh,
belajar untuk jujur,
bersemuka dan berdialog dengan hati.
tempat aku menguntai makna,
melatih menamai,
mengasah ketepatan,
mengartikulasikan pemahaman...
pulangku semoga membawaku,
ketempat aku dimiliki.
dan tak berhenti tumbuh...
resah
semesta terlelap
hanya aku yang tahu kisah ini
kujinjing sendiri,
tiada yang menilik
mengenangku
punya konsern,
perlahan keletihan menggerogotiku
lumbung lumbung energi tak terhuni
adaku terantuk bumi
menggugat:
"untuk siapakah semua ini?"
semua hanya berlalu lalang disekitarku
mengawali hari ini
pagi.hujan.gelap.let it be me.
sesekali mengintip sosokmu
rasa ini masih sama...tumbuh...dalam...
pengin bergegas membuat usai pengasingan ini
dan pulang ke tempat yang memilikiku
Kaki Kaki Telanjang
Selalu kusambut dengan wajah berbinar setiap kali Mentari memamerkan tangkapan digenggamanya. Selalu ada yang ia pamerkan. Membikin tersenyum atau tercengang. Belalang. Kupu. Capung. Bunga ilalang. Pasir. Kadang dia sudah menyisipkan bunga bakung atau melati di telinganya. Sembari tersenyum memamerkan keelokanya. Dia tahu bahwa aku selalu takjub dan mampu penangkap kemolekanya.
Mentari suka tampil sebagai gadis kecil. Mungil.Molek. Anggun.Lincah. Bebas lepas. Santun. Terpancar jernih dan bening jiwa. Kaki kaki mungil telanjang bercengkerama dengan rumput2. Tak hendak letih. Mentari suka menghirup udara bebas segar. Semesta adalah areal mainya. Langit adalah batas jangkauanya. Sepasang kaki telanjang, tak pernah usai menggeliat. Menari. Menikmati kebebasan. Mengurai keingintahuan. Menapaki kedalaman. Menjelajah kuntum-kuntum keindahan. Mencengangi kebaruan. Meng"hening-i" relung-relung misteri.
Mentari gemar menjelajah. Mampu menggeliat dari lapisan kelopak- kelopak keterbatasan. Kelopak pengetahuan. Kelopak kesadaran. Kelopak horizon. Kelopak kerangka hati. Kelopak afeksi dan keterikatan. Baginya, yang terpenting bukan sekedar melewati lapisan lapisan kelopak itu; tetapi mengenali detail ruas-ruas struktur kelopak itu. Karena dengan mengenali ruas-ruas struktur kelopak itu, dia mampu menahkodai hidupnya, memenangkan kehidupan. Kadang dia tak peduli dengan senyum dan pelototan sinis ruang dan waktu.
Seperti biasa Mentari akan datang lagi. Kusambut dengan kerelaan bahwa ia akan beranjak lagi meneguk kebebasan. Entah sampai kapan. Tak perlu kuikat dengan utas tali atau apapun. Karena setiap utas akan teretas, dan menghambarkan manisnya misteri ini.
Chicago, 30 Desember 2005
What do I celebrate?
What do I celebrate?
Love? Do I really care about it?
Redemption? Do I really need it?
Transformation? Do I mind its effect?
Reconcilliation? Di I know exactly what are supposed to be reconcilled?
The only languge of mine is a gesture
Hanya kedalaman
bukan untuk pertama kali dinding-dinding dan dingin menemaniku,
ketika adaku tergolek terasing dari ada ada yang lain.
kutoleh kedalaman, sekedar untuk menghitung seandainya ada yang tersisa
nafasku membuat adaku masih menggeliat
mata hati dan kebiasaan menghitung samar-samar menawarkan kejora
esok sebuah misteri dikenang, dirayakan
mungkin hanya satu dua yang sungguh merayakan
di tengah laksa jiwa jiwa yang mulai mengering
bak ilalang2 yang hanya mampu mengibaskan tubuh mereka
membahasakan detak-detak kerinduan yang terhimpit, tersisa
wahai mentari, wahai surya, wahai kehidupan
apakah cukup menyalahkan ilalang-ilalang yang semakin mengering itu?
apakah cukup menanti mereka bertunas dan menghijau lagi
mengapa tidak kau kirim hujan?
mengapa tak kau hampiri kami dengan tanda?
Bagitu mahalkan sebuah tanda yang jelas?
..Philly...23 dec...
Mentariku
pagi masih pulasmentari terlelap dalam mimpinyahening pagi merengkuh semestatapi mentari yang bersemayam di relung hatimenahkodaiku untuk bercecitmenorehkan kisah-kisah suka, bukan duka...mentari yang terus menyapaku dengan kerling dan senyummentari yang senantiasa menawarkan kehangatan dan energimentari yang mengajaku melihat kehidupan sebagai cerahmentari yang menjanjikan bahwa masa depan hanyalah arena untuk tumbuh*saat mentari merelakanku pergi ke suatu tempat
You
Only human being can still dance before its victim,
not wolf;
and the stink of that corpse becomes her music.
lupa lagi
hari ini lupa lagi....
setelah beberapa minggu lalu lupa misa di susteran, hari ini mestinya misa di paroki...
mata melihat kalender hari kamis, tapi yang masuk di benak dan kesadaran hari Jumat...
kadang pikiran ini rasanya nggak "klik"....
tapi ya cuek aja, nggak ada keinginan untuk minta maaf.....
ada apa dgn aku?
interiority
While inner melody is not there.....
Our heart can never dance.....
Semua berhenti
Mengapa semuanya berhenti...
kreatifitasku untuk berpikir dan menuangkan ide
inisiatifku untuk berprakarsa
konsernku terhadap masalah publik
passionku untuk terlibat
ketekunanku untuk membangun kedalaman
kegemaranku untuk melayani
kesabaranku untuk memahami
kerelaanku untuk turut menanggung beban sosial
kecenderunganku untuk bergaul dan punya kehidupan sosial
kesegaran dayaku untuk mencinta
kemauanku untuk minta maaf
kerajinanku untuk menyemaikan tunas baru
adakah ini wajah dari ketidak percayaanku terhadap kehidupan?
atau saatku untuk keluar dari kelopak eksistensiku?
...teralu lama "kau" biarkan aku.........
"hatred cannot murder love and life; apathy does it!"
Nulis saja...
Aku rindu berdoa,
dengan harapan yang hidup, segar, dan dinamis.
Aku rindu bersahabat,
dengan ketulusan, kemauan untuk saling menopang dan menumbuhkan.
Aku rindu tertawa lepas,
tanpa dibebani kekeruhan dalam diri, pretensi, atau aneka bentuk represi.
Aku rindu menyanyi,
bersama teman-teman, sekedar mengisi waktu, mengendorkan urat-urat dari ketegangan, dan untuk mencipta suasana hangat.
Aku rindu bekerja,
bersama dan untuk banyak orang.
Aku rindu relaks,
sambil berbagi kisah dan cerita.
...semua berawal setelah "gegar" itu...........
Hari biasa....
Hari ini hampir kuakhiri lagi. Seharian mendung, hujan. banyak pekerjaan belum selesai. tetapi banyak hal baik sudah tak jalankan. Ngobrol dengan teman, membantu seseorang yang membutuhkan bantuan, menyiapkan misa, pemilihan pengurus baru untuk komunitas. Hal-hal yang biasa, tetapi tetap menghiasi hari. Mudah-mudahan hari esok berjalan lebih baik...itu saja doaku.
Perhatian
Berilah perhatian yang menumbuhkan, sehat, wajar, secukupnya.....
kalau tidak,
mereka akan menagih,
dan akhirnya memakanmu....
sampai darahmu habis...dan melenggang meninggalkanmu....
itulah kedalaman kekosongan manusia akan kebutuhan perhatian....
Surat untuk sahabat yang "menghilang"
Kamu dimana? Sehat-sehat saja kan? Bagaimana dengan Gatot and Joe? Dimana mereka sekarang? Terakhir aku mendengar G di Jakarta dan J di Bali? Terus konon kamu di Jogja dengan keluargamu??!!??
Lama kamu menghilang. Mungkin 8 tahun, 10 tahun, 12 tahun? Aku nggak ingat persis, tetapi sepertinya kamu menghilangkan jejak, sengaja menghindar untuk dihubungi, juga oleh teman-temanmu?!? Aku hanya khawatir kalau ada apa-apa dengan kamu, mungkin tidak secara fisik atau finansial, tetapi mungkin dalam aspek hidup yang lain.
Aku mencoba menelpon rumah tetapi agaknya nomornya sudah ganti, atau kalian sudah pindah semuanya. Aku mencoba mencari email Joe dan mengirim pesan, tetapi emailnya sudah tidak aktif, sehingga pesanku kembali.
Hari-hari ini aku ingat kamu, ingat Joe dan Gatot. Banyak kisah ingin kubagi. Seperti dulu. Aku rindu membaca puisi-puisimu. Aku rindu menikmati caramu menyusun kata-kata dalam surat atau tulisan yang selalu apik. Aku rindu pergi ke Jumbo Juice sama kamu, Joe dan Gatot. Aku rindu melihat kamu Joe dan Gatot menghadiri misaku, sambil ngobrol setelah misa atau pergi maem di luar.
Aku berdoa supaya tidak terjadi apa-apa terhadap kalian. Semoga kamu dan kelurgamu diberkati. Semoga Joe dan Gatot juga demikian. Mudah-mudahan kita bisa ketemu karena sepertinya kamu yang bisa mengerti kisahku. Di usia tua mungkin......
.....ketika rindu ngobrol dengan sahabat.......
Kehidupan-Bahasa
Kehidupan..............
selalu lebih mendalam daripada apa yang bisa dilukiskan oleh bahasa,
selalu lebih kompleks daripada apa yang mampu diurai dengan aneka kategori,
selalu lebih agung dan misterius daripada apa yang bisa disujudi dan dicerna oleh budi,
pengalaman jatuh, sakit hati, kecewa, terpukul, pahit.....tidak pernah bisa diselami, dikuras, dan dituturkan kedalamanya.
pengalaman gembira yang otentik, yang mengubah, menumbuhkan dan menebus.... tidak pernah cukup diwadahi dan dirayakan dengan aneka macam bentuk ekpresi.
Memang bahasa memberi akses ke kedalaman, tetapi tidak akan pernah mampu menguak dan menguras seluruh kedalaman.
"...most experiences are unsayable, they happen in a space that no word has ever entered" -
Rainer Maria Rilke.
Datar
Hari ini datar....
Kucoba bangun lagi
Perlahan....
Menanggapi tawaran hari-hari menjelang....
Friend, hope for the truth while you are alive.
Jump into experience while you are alive!
Think...and think..while you are alive.
What you call "salvation" belongs to the time before death.
If you don't break your ropes while you're alive
do you think
ghosts will do it after -Kabir
...ikutan Lisa....
Rumah Kita
Selalu ada waktu untuk rindu pulang. Tetapi ketika kita mencoba pulang, "rumah" kita sudah bergeser, dan tidak ditempatnya lagi. It has moved to somewhere else. "Rumahku" tidak statis, dia juga tumbuh, bergerak dan berproses.... We can still come home to where or whom we now belong anyway.
"There is no house like the house of belonging" -
David Whyte
Maju!
Kuingin seperti mesin,
bisa maju terus, meringsek...
tiada tersendat oleh rasa dan hati
Hari biasa
Mentari tak tawarkan kerling dan kehangatan....
Hari berat kujalani lagi....
Semoga lebih baik.....
Kuingin hidupku seluruhnya jadi senandung berontak tiap ketidak adilan...
Berhati-hati....
.....kalau anda berdendang dan menari......
simaklah ke bawah.....siapa tahu hanya mayat-mayat tak berdaya yang menjadi tumpuanmu.....
Simaklah bayang-bayang terkulai itu..satu..dua..tiga.....
mereka masih bernafas, tetapi jiwanya terkoyak, hati dan hidupnya mengering....
Sakura
Kutatap kuncup "sakura". Kunihilkan ruang dan waktu. Sakura hadir. Detail. Indah. Anggun. Senyum. Tulus. Bening. Semua yang telah menawan jiwaku. Kali ini kutangkap detail yang lain. Ia berkisah. Kehidupan yang keras dan penuh tipu menghisapnya. Membiusnya. Sakura terlena. Termakan oleh angkara, terhempas, dicampakkan, dan dia sendiri harus menjinjing semuanya.
Dukamu dalam. menghujam. enggan aku turut menjenguknya, karena aku pernah terperosok di sana. Tidak hanya tubuhmu yang terkena, tetapi juga diri dan jiwamu, termakan oleh semua yang menyertainya.
Kau tawarkan senyum. sedikit. tuk bertutur ke sahabatmu ini "I will be fine". Sakura, aku terharu dan bangga dengan kuat mu. Tetapi jangan tahan airmata dan tangismu hanya untuk membuat sahabatmu senang. Tumpahkan airmatamu sampai angin menyekanya, pekikkan teriak protesmu, sampai sunyi mengantunginya. Dengungkan tangismu, sampai mereka yang hanya tahu berria-ria mendengarnya.
Jika belum mampu melupakan atau memaafkan, janganlah dipaksakan. Karena itu hanya menyisakan luka. Kehidupan kadang memang begitu. Kalau seluruh tubuhmu ingin berontak dan menikam balas, lakukan saja. Tetapi kalau semua usaha tak berguna, diamkan saja, sampai kehidupan malu menatapmu.
Akupun belum bisa menawarkan apa-apa. Tetapi mudah-mudahan kita melihat misteri yang tidak akan pernah mampu dilihat oleh mereka-mereka yang disana. Mudah-mudaha ini bukan sekedar penghiburan, untuk lari dari kedalaman ini.
Sakura, jangan biarkan layu wajahmu. Andaikan kehidupan tetap diam, tidak ada salahnya kita tetap tersenyum. Siapa tahu untaian senyum kita justru menghibur kehidupan, yang mungkin sudah letih menyaksikan semua kisah yang dikandungnya.
.....diam menemani sahabat yang berduka..dalam!
Rindu apa?
Kurindu pulang..........
dimana rumahmu?
Kurindu berdendang........
apa nadamu?
Kurindu bertandang.........
siapa sahabatmu?
Kurindu datang...........
apa eventmu?
Kurindu pergi......
kemana sukamu?
Kurindu bernyanyi.....
apa lagumu?
Kurindu berhenti.....
dimana tempat teduhmu?
Kurindu menepi.....
dimana sauhmu?
Sekedar Mengenang......
Ku kenang "malam" itu. Sungguh kelam. Seberkas cahayapun tiada berani mengintip. Langit dan bumi tetap diam, tak berani menghibur atau sekedar menyapaku. Ranting dan daun berpura tetap menari, sekedar untuk berpaling dan menghindar bertatapan dengan kedalaman kelamku. Air resistensi tidak menetes lewat kelopaknya, tetapi mengalir semampunya dari celah setiap pori adaku.
Ku tengadah.....kosong;
Ku menoleh..... sunyi;
Ku menunduk...bayangkupun tak mampu disuguhkan oleh pertiwi.
Dari kejauhan terlantun samar sorak kemenangan. Celebration......! Sorak-sorai yang hadir dalam dinding-dinding imagi. Sorak-sorai dalam gambar-gambar produksi.
Kusimak para pemeranya. Hanya bilangan topeng-topeng menari, tak bertuan. Wajah hatipun tak terukir di sana. Lupa terbawa ketika bilangan topeng bergegas tergesa.
Kuiri bangsa Israel, biarpun sering yatim piatu, mereka masih ditemani berkas cahaya di hati..biarpun kadang redup dan hampir mati dipeluk angin....
Gelap konon sekedar absenya terang.....
seperti malam sekedar alpanya mentari.....
tetapi kalau terang pun tak pernah terlahirkan...non-existence....dengan pedoman apa
harapan pergi melangkah.....
apakah makna eksistensi...dedikasi...kesetiaan...ketulusan....kesungguhan...kejujuran...?
bagaimana dan mulai dari mana membangun sendi-sendinya.....?
Agaknya inilah giliranku untuk diam, dan menepi.......................
gelap
Masalah bangsaku semakin menumpuk dan tak terselesaikan, korupsi, arogansi militer-pejabat-orang berduit-mayoritas (agama), infrastruktur yang semakin buruk, pendidikan yang ganti-ganti kebijakan, penanganan tsunami, pengusiran TKi dari Malaysia, nasib menggantung dari WNI di Amerika dll.
Sementara pejabat tidak pernah belajar dan berhenti dari kebiasaan korup. Bikin proyek, penyimpangan dana, mark-up, setoran-upeti, dan sejuta bentuk korupsi dan pungli lainya.
adakah tersisa pemimpin yang masih tulus, yang peduli dengan nasib orang-orang melarat?
adakah pemimpin yang masih punya sense of crisis?
adakah pemimpin yang masih punya dedikasi, komitmen, dan tanggung jawab?
adakah pemimpin yang masih bisa menanggalkan fanatisme kelompok atau agama?
adakah......?
Belajar
Andaikan mungkin ingin ku hapus kisah "malam" dari serambi hidupku. Kisah yang "menggeser" peta dan struktur diriku. Yang menaruh dan meninggalkan gurat di sudut hati. Tetapi mestinya setiap nafas pernah belajar, bangun...tertatih... dan tiada henti belajar melenggang lagi.....karenanya soalnya bukan menghabus dari kisah kehidupan, tetapi memaknainya supaya menjadi lebih cermat, lebih dekat dengan rahasia kehidupan, lebih dekat dengan sudut-sudut lautan hati, dan akhirnya.... belajar untuk memeluk semua wajah kehidupan.....sambil mengenali setiap pernik dan nuansanya......
Pagi
Kutatap pagi. Diam. Momen yang menjadi terbiasa tidak kumaknai dan nikmati. Pagi yang dulu biasa mendidikku untuk dekat dengan alam, akrab dengan keagungan sunyi dan keindahan. Kusadari, aku sudah jauh berjalan. Meninggalkan masa lalu beserta diriku yang lampau. Sisa-sisa rekaman dibenak dan hatipun hanya tertangkap samar. Kukenang saat anak-anak, ku hadirkan saat tumbuh remaja dan dewasa.....dan saat itu pagi terasa agung. Kembali berdiam dan pulang ke masa lalu memang menenangkan, seperti air yang didiamkan di sebuah gelas, karena lampau adalah bagian dari diriku sekarang.... Dan pagi memang harus diteguk dengan diam dan sujud.....
Pulang
Sejak kemarin, adik-adik dan mbak-mbakku beserta keluarga
pulang....
saat yang hanya bisa kuhadirkan dan kerinduan...
Bagi kami, pulang ya pulang, dimana kami saling merasa dimiliki, diterima, dan disembuhkan....
pulang ya pulang karena ada makanan enak, canda, relaks, pergi rame-rame......
apalagi pulang kali ini merupakan saat untuk "celebrate" sebuah kehidupan.....
aku mengerti mengapa bapak dan ibu selalu berpesan bahwa kegembiraan kami harus mengalir ke kanan kiri....ke para tetangga kami.
apakah makna sebuah celebration kalau orang-orang terdekat atau para tetangga tidak ikut merayakan dan mensyukurinya....?!?
Aku senang karena selalu dididik bahwa kehadiran kami harus selalu bisa dinikmati......
dan menurut feelingku para tetangga kami cukup menikmati kehadiran kami; kesahajaan kami, kegembiraan kami. Kalau kami punya sesuatu mereka turut menikmatinya, kalau kami bersedih atau menangis mereka turut berduka bersama kami.
Bagi mereka aku bukan romo Wijanarko, atau siapapun, tetapi "mas nang"....sosok yang mereka kenal, kenang dan sayang sejak tiga puluh tahun lalu.....
entah mereka muslim atau agama lain; entah mereka petani, blantik sapi-kambing-kerbau atau guru, atau lurah, atau mbok penjual sayur atau enthung; entah pemain kethoprak atau reog keliling; entah dukun pijet atau mereka yang klonthang-klanthung; entah mereka anak-anak, orang muda atau mbah-mbah.....mereka memanggilku mas nang....dan aku tidak butuh usaha "menyesuaikan diri" untuk bisa dekat dan akrab dengan mereka.
pulang.............
Small is beautiful,
yes...but simple is more beautiful
Nang....
Breakfast
Hari ini bangun agak pagi, terlanjur menyanggupi Chassie dan Jeje untuk jadi guest di family breakfast di sekolah mereka. Setelah sarapan Chassie menahanku untuk tinggal di sekolah sambil melihat slide show. Chassie kemudian mengajakku untuk melihat lingkungan sekolah dia. Sapaan ramah dan bersahabat dari beberapa teman dia menyodorkan pesan bahwa dia sungguh milik mereka. Tak kuragukan lagi bahwa sekolah ini merupakan lingkungan tumbuh yang baik dan sehat. Bayangan tebal "mereka memang kertas putih (tinggal berpulang pada mereka yang menulisi)".... menguasai benakku. Semoga kuncup-kuncup kemanusiaan mereka tumbuh dengan sehat. Sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang sehat, yang tahu apa yang diinginkannya, dan yang telah-sedang-akan dilakukanya. Thanks Jeje and Chassie.
Portland,
Nang
Hanya berlalu
Oregon, Portland sedikit lebih hangat. Kulewatkan hari ini dengan makan bakso-mie ayam, bercanda dan pergi rame-rame ke Borders bookstore. Sejenak kulewatkan break, sementara perayaan pernikahan adiku terlewatkan begitu saja tanpa kehadiranku. Tetapi aku yakin, mereka merasakan bahwa hatiku hadir di sana. Kasihan memang, karena beberapa event penting tidak sempat kuhadiri....aku bisa merasakan bahwa mereka juga rindu kehadiranku di tengah mereka, sebagaimana aku. Merekapun turut mengambil bagian dalam kurban kisah ini.
Oregon sejenak menawarkan kehangatan.
Nang,
Portland, pondok Aling-Bernard.
Sejenak
Kuhampiri sudut kemanusiaanku, sambil tidak "nyambi" apa-apa,
kudekati tebing-tebingnya, kusimak detail-detailnya,
kuciumi lembut kuncup-kuncup tersembunyi yang lelah tertutup,
oleh ide-ide, oleh tata tertib, oleh tata nilai, oleh tanggung jawab, oleh tradisi, oleh ambisi, oleh pretensi,
masih ada kuncup itu,
dari tatapanya tercermin: dia lama tercecer, terbungkam, terabaikan....
Haruskah kuncup itu "ditertibkan"? Adakah yang lebih tinggi dari kuncup-kuncup itu, sementara yang ilahi berhuni di sini....di dalamnya?!?!
Nang
Kehidupan: Kulewati Lagi
Kulewati Lagi
Kulewati lagi kau..........
seperti biasanya.........
Kupikir:
koinku nggak mengubah nasibmu,
koinku melanggar hukum,
koinku akan sekedar mengusap rasa bersalahku,
koinku bisa kupakai sewaktu perlu,
koinku mengabadikan mental dan nasibmu,
kupasang wajah dingin, seolah nggak melihatmu, me"niadakan" existensimu...
mungkin untuk mengurangi rasa bersalah,
mungkin sekedar menghindari kontak mata,
mungkin sekedar menepis wajahmu yang membidik hati manusiaku,
yang jelas, hati kita menjadi tersapih,
dan kita menjadi dua pulau terpisah, dipingit oleh lautan yang mengitari kita masing2.
Nang
Kehidupan: Datang-Pergi
Datang-Pergi
Sejumlah teman datang, kemudian pergi. Bukan sekedar kenangan yang tertinggal, tetapi juga kehidupan-kehidupan yang terukir menjadi bagian dari diriku. Apapun peranya, mereka menyumbang membentukku. Kehadiran mereka kuabadikan dalam diriku. Setiap pernik yang mereka hadirkan membangunkanku dengan "kantung akomodasi" atau "tameng resistensi." Tergantung aku yang memilihnya, mangatur ritme giliran mana yang kukenakan. Sesuai dengan laju yang kuinginkan.
Met jalan, ko, natal, tesfaye. Hidup nggak selalu ramah dan tersenyum memang, tapi tetap bisa disyukuri koq!
Nang
Arrtikel: Hegemoni Agama dan Pembanguna Demokrasi
Hegemoni Agama dan Pembangunan Demokrasi
While no one is expected to put his or her religious or non religious doctrine in danger, we must each give up forever the hope of changing the constitution so as to establish our religion’s hegemony, or of qualifying our obligations so as to ensure its influence and success (John Rawls)
Artikel Masdar Hilmy “Mazhab Ketiga” Reposisi Agama dalam Ruang Publik dalam harian KOMPAS (Kompas, 5/11 2004) sungguh melegakan. Makna artikel tersebut selain karena kandunganya yang dalam dan benderang, juga karena ditulis oleh seorang intelektual dari lingkungan Islam sendiri, dan dimaksudkan untuk mengkritisi kecenderungan hegemonik atau totalitarianistik dari komunitas agama mayoritas yang mendominasi wacana dan proses-proses penataan ruang publik. Artikel tersebut melegakan karena diartikulasikan dengan semangat “compassion” terhadap perasaan kelompok minoritas yang semakin hari menggenggam perasaan tercecer dan ditinggalkan karena kurang disertakan dalam proses-proses penataan posisi agama dalam ruang publik dan dalam proses penataan kehidupan bernegara.
Tetapi mengapa suara kelompok minoritas tergusur oleh derap wacana yang hegemonik dan totalitariansitik, dan tercecer dalam proses-proses penataan ruang publik dan proses-proses penataan kehidupan bernegara? Hal itu pertama-tama disebabkan oleh proses-proses politik yang tidak transparan dan tidak demokratis yang dinahkodai oleh sebagian kalangan yang mengatasnamakan diri suara kelompok mayoritas. Kita masih sepakat bahwa dasar negara kita Pancasila. Konstitusi dan sumber produk hukum kita masih UUD 1945. Wacana-wacana tentang konstitusional atau tidaknya penerapan syariat Islam di NKRI juga belum final. Tetapi atas pertimbangan kompromi dan “konsesi” politik, Syariat Islam diterapkan di beberapa wilayah negara kesatuan republik Indonesia. Malahan, dengan memanfaatkan beberapa momentum tersedotnya perhatian masyarakat ke isue-isue politik yang lain, tindakan-tindakan politik tidak transparan (deceiving) untuk “menyisipkan” hukum atau doktrin agama tertentu dalam peraturan-peraturan pemerintah dan produk hukum yang mengatur kehidupan publik semakin intensif. Jaringan-jaringan birokrasi dan sejumlah perangkat penegak hukum juga sudah dimobilisasi untuk mendukung penerapan peraturan dan produk hukum tersebut. Perasaan tersingkir kelompok minoritas juga diperparah oleh berbagai teror psikologis oleh kelompok-kelompok yang mengklaim diri sebagai suara mayoritas yang gelombangnya makin luas dalam bentuk mobilisasi masa anarkis, yang menghancurkan ruang-ruang berkumpul kelompok minoritas dan bahkan sampai penghancuran tempat-tempat beribadah. Teror psikologis ini seolah menjadi lengkap ketika pihak-pihak yang berwenang tidak menunjukkan ketegasan dalam menghukum mereka yang terlibat, yang oleh para pangacau tersebut ditafsirkan sebagai sikap setuju, suportif, dan mengayomi mereka.
Memang kontroversi tentang tindakan-tindakan dan proses politik tersebut, ditilik dari cita-cita dan watak Negara Kesatuan Republik Indonesai, masih menjadi wacana dan beban sejarah yang belum tuntas. Namun tulisan yang dimaksudkan untuk meramaikan wacana publik ini akan lebih memberikan fokus tinjauan ke konteks bangsa kita yang sedang membangun budaya dan sistem kehidupan bernegara yang demokratis. Beberapa pertanyaan bisa diajukan: sungguhkah intensitas gerakan-gerakan agama mayoritas, dan tindakan-tindakan politik “sneaky” dari beberapa kalangan yang mengklaim sebagai penyambung suara mayoritas Islam, merupakan ekspresi partisipasi politik yang berakar pada kesadaran dan aspirasi bulat kelompok mayoritas, dan dengan demikian merupakan wujud mekarnya budaya demokrasi? Andaikan alasanya memang demikian, apakah ekspresi-ekspresi berlebihan yang tidak dialogis dan tidak transparan dari komunitas-komunitas religius agama mayoritas dan proses-proses produksi kebijakan publik yang tidak transparan, tidak mengaborsi proses pembiakan benih-benih budaya dan sistem kehidupan demokrasi yang kita cita-citakan? Ataukah memang tabiat kelompok agama mayoritas (apapun jenis agama kelompok mayoritas itu) dari kodratnya tidak mungkin menjadi partner negara untuk membangun budaya demokrasi?
Benarkah cita-cita untuk mengintroduksi Syariat Islam atau bentuk-bentuk kehidupan berdasarkan hukum dan doktrin Islam, beserta perangkat kontrolnya, merupakan kerinduan mayoritas bangsa Indonesia yang sedang dibuai oleh cita-cita untuk membangun demokrasi? Sungguh sulit dibayangkan bahwa tindakan “menghadiahkan” otoritas kepada penguasa untuk punya kontrol atas kehidupan agama, kehidupan sosial dan personal yang lain murni berasal dari aspirasi dan kebutuhan riil dari masyarakat. Bukankah dengan memberikan otoritas kepada penguasa untuk mengontrol kehidupan personal mereka, dalam hal ini segala hal menyangkut penghayatan agama, masyarakat sesungguhnya malah memangkas wilayah otoritas mereka sendiri dan membiarkan penguasa punya kontrol atas kehidupan mereka, pun wilayah kehidupan yang paling personal? Bagaimana pembiakan benih-benih budaya demokrasi dan proses belajar menjadi masyarakat madani bisa dilakukan dan masyarakat bisa mempunyai kekuatatan dan daya resistensi, jika mereka memberikan otoritas kepada penguasa untuk mengurus dan mengontrol dan menggunakan sarana-sarana “law inforcement”, yang daya penetrasinya mampu menjangkau dan mengawasi wilayah-wilayah paling personal dari kehidupan mereka, bahkan kehidupan batin mereka? Karena itu tindakan-tindakan politik menyelundupkan hukum agama ke dalam produk-produk hukum dan peraturan publik yang mampu merambah kehidupan personal masyarakat, sepertinya tidak bersumber dari aspirasi riil dari masyarakat luas. Tindakan-tindakan politik semacam itu justru tidak seiring dengan aspirasi masyarakat yang ingin memberdayai diri, mengurus dirinya, dan yang belajar mengurangi internvensi dari pemerintah atas kemerdekaan kehidupan mereka?
Pemikiran tersebut bukan sekedar proposisi spekulatif-logis, tetapi mendapatkan dasar peneguhan dan perluasan argumentasinya dari watak terdalam Islam sendiri sebagai agama yang bersifat polyinterpretable. Meskipun Islam nampak sebagai agama yang monolitik, tetapi bentuk dan ekspresinya berbeda-beda, baik pada masing-masing individu maupun masing-masing kelompok. Sifat Islam yang polyinterpretable ini juga menentukan bagaimana Islam, khususnya pandangan tentang syariah, harus dipahami. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keragaman pemahaman individu terhadap syariah. Kondisi sosiologis, budaya dan intelektual, atau apa yang disebut Arkoun sebagai “aesthetic of reception,” merupakan unsur vital dalam menentukan bentuk dan substansi interpretasi. “Aestetic of reception” dengan demikian menunjuk pada pemahaman bagaimana suatu diskursus, baik lisan maupun tulisan, diterima oleh pendengar atau pembacanya. Kecenderungan intelektual yang berbeda akan berpengaruh terhadap usaha memahami syariah, sehingga akan menyebabkan interpretasi yang beragam mengenai doktrin tertentu. Hal ini dapat terjadi misalnya dalam hal pemahaman terhadap makna doktrin yang secara literer diekspresikan dalam teks, atau dalam menemukan prinsip umum mengenai doktrin melampaui ekspresi literal dan tekstualnya. Jadi, sekalipun prinsip-prinsip umum syariah itu diterima, orang-orang muslim tidak hanya cenderung kepada satu bentuk interpretasi semata.
Munculnya sejumalah aliran pemikiran dalam hukum Islam serta berbagai aliran teologi dan filsafat, membuktikan bahwa ajaran Islam itu polyinterpretable. Sepanjang sejarah, hakekat Islam yang polyinterpretable telah berfungsi sebagai basis fleksibilitas Islam. Hal ini juga menunjukan keharusan pluralitas dalam tradisi Islam. Tambahan lagi, para penafsir harus juga mempertimbangkan pengaruh konteks sosiologis ketika menginterpretasikan wahyu Tuhan. Tidak ada interpretasi, sekalipun diapandang paling benar, yang terbebas dari pengaruh tersebut. Para teolog dan ahli hukum terdepan abad pertama Islam, yang pendapat-pendapatnya dipandang final dalam tradisi-tradisi muslim, pun tidak terbebas dari pengarush konteksnya. Formulasi dan interpretasi mereka harus dipandang sebagai jawaban historis jamannya, dan tidak dapat dipisahkan dari keterbatas-keterbatasanya. Dengan demikian setiap interpretasi Kitab Suci mewakili etos jamannya. Syariah tidak menampik pandangan dan pendapat manusia. Untuk alasan inilah maka terdapat banyak aliran hukum yang berbeda satu sama lain dalam berbagai hal. Berbagai madzab hukum yang ada tak lebih merupakan refleksi evolusi kehidupan dalam dunia Islam dan aliran-aliran ini berubah dan berkembang menurut kondisi dan situasi. Pemikir Islam awal, Ibn Taymiyah, pun mengakui perlunya perubahan dengan adanya perubahan konteks, dan atas dasar inilah dia berargumen bahwa dictum agama dapat berubah sesuai berubahnya waktu. Tak kurang seorang pemikir ortodoks seperti dirinyapun berpendapat, adalah merupakan suatu kewajaran bahwa suatu hukum (dictum) harus berubah dengan berubahnya konteks historis dan sosiologis.
Dengan demikian tuntutan sekelompok aliran Islam di negara kita untuk mengintroduksikan Syariat Islam dan ajaran-ajaran hukum dan doktrin Islam versi mereka ke dalam setiap produk hukum dan peraturan yang mengatur kehidupan publik jelas-jelas mengingkari watak Islam yang terdalam yang memberi ruang pada polyinterpretasi tersebut. Mengingkari sifat polyinterpretable Islam, yang merupakan ranah subur persemaian sikap pluralistis, egalitarian, inklusif, dan demokratis, dengan mereduksikanya ke dalam penafsiran tunggal versi “Islam penguasa” justru akan mengaborsi potensi luar biasa agama Islam untuk berpartisipasi membangun mentalitas dan budaya demokrasi. Karena itu, usaha untuk mengintroduksi Syariat Islam sebagai prinsip untuk mengatur kehidupan bernegara agaknya bukan berasal dari aspirasi bulat kelompok Islam mayoritas yang dalam dirinya sudah beragam.
Selanjutanya, penyelundupan hukum agama tertentu dalam produk-produk hukum dan peraturan-peraturan publik yang kemudian diimposisikan untuk mengatur kehidupan bersama juga menyimpan potensi mencederai prinsip keadilan dan tidak sejalan dengan semangat untuk membangun kehidupan yang demokratis, karena ketika produk-produk hukum diimposisikan dari tradisi agama tertentu, yang sejatinya dimaksudkan untuk mengakomodasi dan melindungi aspirasi golongan agama tersebut, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan produk hukum tersebut juga bersifat adil terhadap anggota masyarakat dari agama atau kelompok lain. Karena itu John Rawls dalam The Law of peoples menegaskan,”except by endorsing a reasonable constitutional democracy, there is no other way fairly to ensure the liberty of its adherents consistent with the equal liberties of other reasonable free and equal citizens” (John Rawls, The Laws of Peoples, 151). Hegemoni agama mayoritas yang diinstitusikan melalui imposisi hukum atau doktrin agama tersebut secara logis menyimpan ketidakadilan karena tentu kepentingan tradisi agama tersebut yang dikedepankan. Karena itu tindakan-tindakan politik semacam ini hanya akan mengantar agama menjadi institusi yang secara sistematis dan permanen menopang bentuk-bentuk ketidakadilan.
Selanjutnya proses-proses produksi hukum dan peraturan publik yang tidak transparan, yang memanfaatkan kelengahan publik, atau paling tidak memanfatkan ketidak berdayaan politik dari kelompok-kelompok lain karena keterbatasan akses politik, juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan komitmen untuk membangun sistem dan budaya demokrasi yang terbuka dan kuat, karena proses-proses semacam itu menepikan pentingnya wacana-wacana rasional, yang merupakan elemen penting untuk menghasilkan produk hukum dan peraturan publik yang selalu bersifat provisional dan kontekstual. Imposisi hukum agama dalam kehidupan publik dengan masyarakat yang plural, yang disertai dengan tindakan memobilisasi perangkat hukum justru hanya akan menegaskan wajah agama yang formalistik-legalistik, dan menjauhkan manusia dari hati nuraninya sendiri. Selain itu, proses semacam itu juga mengabaikan pentingnya kebutuhan untuk melibatkan semua pihak dalam menghasilkan produk hukum dan peraturan publik, padahal mereka inilah yang akan terkena oleh produk hukum dan peraturan publik tersebut. Hal ini tidak sekedar menimbukan “rasa tidak dilibatkan” dari golongan-golongan yang tersingkir, tetapi sesungguhnya sudah menggerogoti bobot legitimate dari hukum dan peraturan publik tersebut, dan juga melanggar prinsip keadilan karena mengabaikan aspirasi dari anggota masarakat yang lain, biarpun kecil golongan masyarakat tersebut.
Wacana publik merupakan nafas kehidupan demokrasi. Beredarnya “bahasa” (: debat, diskusi, dialog) di setiap sektor kehidupan publik tidak boleh dihentikan oleh aneka bentuk kekerasan, entah kekerasan yang visible maupun dalam bentuk peraturan atau produk hukum “totalitarianistik” yang dibuat tidak transparan. Sebaiknya pembangunan ruang wacana yang sehat, sebagaimana dirindukan oleh Masdar Hilmy dan banyak pihak, termasuk golongan intelektual muda dari berbagai latarbelakang, perlu didukung semua pihak. Karena wacana-wacana semacam inilah yang bisa menumbuhkan sikap inklusif dan mengawal bangsa kita membangun budaya dan sistem demokrasi, serta mengusik nurani dan mengasah pikiran kelompok-kelompok yang secara diam-diam memaksakan kehendaknya, untuk menginstitusikan hegemoni agama.
Syafa’atun Almirzanah, dosen fakultas Ushuluddin Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja di Interfidei, mahasiswa PhD bidang Teologi di Chicago, USA.
Robertus Wijanarko, rohaniwan katolik, menempuh program doktor bidang Filsafat, di DePaul University Chicago, USA.
Artikel: Residu Sebuah Mimicry
Residu Sebuah Mimicry
(Robertus Wijanarko)
Mimicry reveals something in so far as it is distinct from what might be called an itself that is behind. The effect of mimicry is camouflage…. It is not a question of harmonizing with the background, but against a mottled background, of becoming mottled –exactly like the technique of camouflage practiced in human warfare (Jacques Lacan).
Mimicry mulanya lebih dikenal sebagai istilah ilmu biologi, yang menggambarkan proses adaptasi warna, bentuk, atau perilaku suatu spesies dengan spesies lain. Ada bermacam alasan sebuah spesies ber-‘mimicry’: untuk menyembunyikan diri dari sergapan musuh, supaya tidak dikenali mangsa yang ditunggu dan hendak diterkam, atau alasan lainnya. Betapa sempurna proses adaptasi warna, bentuk, atau perilaku sebuah spesies, ia tetap spesies yang berbeda dari spesies yang ditirunya. Mimicry, dengan demikian, bukan proses meleburkan diri dengan spesies lain, tetapi merupakan proses untuk mempertahankan identitas dan eksistensi diri. Identitas otentik sebuah spesies tetap eksis dan tersembunyi dibalik perubahan warna, bentuk, atau perilakunya. Karena itu Jacque Lacan menegaskan, “Mimicry reveals something in so far as it is distinct from what might be called an itself that is behind.”
Istilah mimicry juga sering menghiasi wacan-wacana Teori Postcolonial dan Kajian Budaya. Homi Bhabha, dalam bukunya the Location of Culture, menggunakan istilah mimicry untuk melukiskan wacana dan strategi kolonial. Dengan merujuk (antara lain) studi antropologis tentang kebudayaan dan politik kolonial dari Benedict Anderson, yang dipublikasikan dalam “Imagined Communities”, Bhabha mengatakan bahwa wacana atau strategi mimicry kolonial bisa ditengarai dari sifat ambivalen dari wacana-wacana atau strategi-strategi tersebut. Proses adopsi (: adaptasi) nasionalisme di Indonesia, -dengan merujuk studi Benedict Anderson dan proposal Homi Bhabha, sebagai mesin perjuangan merupakan bentuk mimicry.
Nasionalisme: Sebuah Mimicry
Pergaulan kaum intelektual muda Indonesia, yang mengenyam pendidikan Belanda entah di Batavia maupun Netherlands, dengan pemikir-pemikir liberal, terutama tokoh-tokoh kelompok kiri sosial demokrat Belanda, dan pertemuan dengan karya-karya besar para pemikir tata negara modern, seperti Rousseau dan Ernest Renan, mendorong kaum muda terpelajar untuk mengadopsi nasionalisme sebagai wacana dan strategi perjuangan kemerdekaan.
Ada beberapa pertimbangan yang meletarbelakangi proses tersebut. Pertama, tumbuhnya kesadaran kolektif sebagai kaum tertindas yang berkembang menjadi kerinduan akan kedaulatan, kebutuhan akan sarana resistensi terhadap kaum penjajah, dan kebutuhan akan instrumen untuk membangun idenitas diri, membuka mata kaum intelektual terhadap kebutuhan akan mesin sosial-budaya-politik yang mampu mewadahi, menjinjing, dan menyuburkan kesadaran-kesadaran dan kebutuhan tersebut. Kedua, mesin sosial-budaya-politik yang dibutuhkan tersebut harus mampu menjawabi dua kebutuhan mendasar sebagai bangsa yang tengah berjuang, yang harus diatasi secara serempak, yakni kebutuhan akan kesatuan “spirit” yang bisa mengatasi ancaman perpecahan karena sentimen primordial dan kebutuhan akan ideologi perjuangan dan identitas, manajemen atau organisasi tata negara baru, yang berorientasi ke masa depan. Ketiga, mesin sosial-budaya-politik tersebut harus mempu memberikan resonansi ke komunitas dunia international dan bisa menumbuhkan simpati dan dukungan dari komunitas international yang lebih luas. Artinya, mesin sosial-budaya-politik tersebut juga merupakan hal yang menjadi konsern komunitas internasional. Keempat, mesin sosial-budaya-politik tersebut harus bisa menjadi payung perjuangan bangsa Indonesia yang bisa menjadi “perisai” atas tindakan dan kebijakan-kebijakan represif penjajah dan sekaligus bisa “membusukkan” mesin kekuasaan mereka. Selain itu ia harus mampu menjadi sarana representasi untuk mengukir dan membangun identitas diri.
Mengapa kaum intelektual muda Indonesia menganggap nasionalisme mampu menjawab dan mewadahi aneka kebutuhan tersebut? Kita bisa menyimak pertama-tama pendapat Ernest Renan tentang nasion, “A nation is a soul, spiritual principle. Two things, which in truth are but one, constitute this soul or spiritual principle. One lies in the past, one in the present. One is the possession in common a rich legacy of memories; the other is present-day consent, the desire to live together, the will to perpetuate the value of the heritage that one has received in an undivided form (Homi Bhabha, Nation and Narration, 19). Gagasan tentang nasion Ernest Renan ini mengisyaratkan bahwa pembangunan sebuah nasion harus didasari oleh suatu visi atau orientasi ke depan. Tanpa menampik perlunya menggenggam memori kolektif masa lalu, Ernest Renan menegaskan bahwa jiwa sebuah bangsa harus dilandasi oleh keinginan untuk hidup bersama dan kemauan meneruskan warisan nilai-nilai. Dengan kata lain, yang menjadi daya penyatu dan daya hidup sebuah nasion adalah suatu “spirit” (the desire dan the will) untuk mencipta identitas dan meproduk sejarah baru. Ideologi perjuangan semacam inilah yang diyakini mampu mewadahi, menjinjing, dan menyuburkan aneka kesadaran yang teruntai dalam semangat perjuangan kemerdekaan. Mengingat bahwa nasionalisme merupakan ide yang mulanya lahir di dunia barat dan menjadi konsern negara-negara barat, pengadopsian nasionalisme sebagai ideologi perjuangan memberikan beberapa keuntungan, yakni memberikan resonansi bagi komunitas negara-negara barat tersebut dan menumbuhkan perasaan simpati yang kemudian mengristal menjadi aneka bentuk dukungan.
Pengadopsian nasionalisme sejatinya adalah bentuk mimicry. Kaum intelektual muda Indonesia sengaja mengadopsi ideologi perjuangan (nasionalisme), yang pernah digunakan Belanda untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan atas penjajah Perancis, yang senantiasa terus didengungkan dalam benak kesadaran orang-orang Belanda, juga di tempat-tempat mereka menjajah, termasuk Indonesia. Dengan mengenakan ideologi perjuangan yang pernah digunakan Belanda, dengan mendengungkan kesadaran akan nasion sebagaimana yang didegungkan pemerintah Belanda kepada orang-orangnya, dengan mengadopsi mesin sosial-budaya-politik sebagaimana yang digunakan Belanda untuk memproduk identitas yang berdaulat, kaum intelektual muda Indonesia sedang mengadopsi warna, bentuk, dan perilaku bangsa Belanda sebagai sarana (1) untuk mengukir identitas diri yang berdaulat , (2) yang mampu memberikan resistensi dan perisai terhadap bidikan atau represi penjajah Belanda, dan (3) membusukkan mesin kekuasaan Belanda. Jejak-jejak usaha ini juga ditengarai oleh Benedict Anderson, “rather than simply absorb and adapt Dutch partially, to reinforce Javanese tradition, the younger intelligentsia, drawn mainly into the profession, was to build on the older generation’s experience and advance to the radical absorption of Dutch as a “whole” –including the metropolitan spectrum of Dutch culture- and consequently, in the long run, to destroy Dutch colonial power from within” (Language, 135-136). Singkatnya, nasionalisme diadopsi oleh kaum muda Indonesia untuk membangun dan melestarikan identitas dan “menyembunyikan” perjuangan dari bidikan kekuatan Belanda.
Residu Mimicry
Ide bahwa kesatuan sebuah nasion diikat oleh kesatuan cita-cita dan kehendak hidup bersama merujuk pada kebutuhan akan perangkat hukum dan sistem sosial dan politik sebagai landasan hidup bersama. Kebutuhan akan perangkat dan prinsip objektif, sebagai cermin idealisme budaya barat yang melahirkan ide nasionalisme, menyisakan persoalan (residu) karena perasaan identitas masyarakat Indonesia lebih diikat oleh sentimen kesatuan etnik, status sosial dan agama. Akibatnya, ada ketegangan antara prinsip hukum, sosial, dan politik dengan mentalitas bangsa kita. Undang-undang dan hukum diciptakan, tetapi sentimen etnik, status sosial dan agama tetap menjadi landasan utama dalam berkehidupan sosial dan politik.
Slogan-slogan nasionalisme dan instrumen-intsrumen yang dimobilisasi untuk mengembangkan semangat nasionalisme dan identitas nasional (lembaga pendidikan dll) lebih berfungsi sebagai mesin sosial untuk “menertibkan-mendisiplinkan” rakyat daripada mesin representasi untuk mengekspresikan dan memproduk identitas diri. Residu semacam ini berakar pada ketegangan, di satu pihak, budaya kita adalah budaya feodalistik-paternalistik, dimana simbol-simbol dan perangkat sosial-politik merupakan perangkat untuk mengabdi “raja” (penguasa) daripada sebagai wadah-saluran aspirasi dan eskpresi rakyat; di pihak lain, nasionalsime sebenarnya dimaksudkan sebagai mesin representasi sosial.
Identitas Indonesia baru dan kebudayaan nasional mestinya diproduksi oleh mesin sosial-budaya-politik tersebut (nasionalisme). Namun yang terjadi adalah adanya kevakuman identitas dan kebudayaan nasional. Identitas dan budaya nasional sering hanya diasosiasikan dengan “himpunan” kebudayaan-kebudayaan atau identitas lokal, etnik atau agama yang cenderung tidak mempunyai resistensi atau tidak akomodatif terhadap kebudayaan transnasional. Residu-residu semacam ini merupakan ekses dari pengadopsian atau proses “mimicking” nasionalisme barat, yang perlu segera disembuhkan.
Robertus Wijanarko, mahasiswa S3 Filsafat, DePaul University, Chicago USA.
Artikel: Culture of Pandering
Culture of Pandering
In too many areas we have spawned ‘leadership’ that does not lead, that panders to our whims rather than telling us the truth, that follows the crowd rather than challenging us, that weakens us rather than strengthening us. It is easy to go downhill, and we are now following that easy path. Pandering is not illegal, but it is immoral. It is doing the convenient while the right course demands inconvenience and courage- Paul Simon.
Dalam sebuah karyanya, Our Culture of Pandering, Paul Simon, seorang mantan senator dan direktur program Public Policy Institute di Southern Illinois University USA, mensinyalir bahwa masa depan demokrasi Amerika perlahan-lahan dibusukkan oleh apa yang dia sebut “Culture of Pandering.” Istilah Pandering merupakan kata bentukan dari sebuah nama tokoh dalam cerita Yunani, Pandaros, yang dalam terminus Latin diterjemahkan Pandarus, yang kemudian dalam bahasa Inggris modern didefinisikan sebagai: (1) to act as a go-between or liaison in sexual intrigues and (2) to cater to the lower tastes and desires of others or to exploit their weaknesses.
Berangkat dari definisi tersebut Simon melukiskan bahwa para politikus Amerika, media massa, para pemimpin religius, dan bahkan kalangan pendidik telah terbiasa hidup dalam culture of pandering, dan dengan demikian semakin terasing dari tanggung jawab mereka sebagai leader. Editorial media massa, menurut Simon, hampir tidak pernah mengkritisi kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang popular, tetapi tidak mendatangkan kebaikan bagi masa depan bangsa. Paul menulis “the media are giving the public what it wants.” Pandering dalam media didasarkan pada dua pamrih, menaikkan rating atau sirkulasi dan meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Budaya yang senada juga tumbuh subur dikalangan para pemimpin agama. Banyak pemimpin agama tidak berani menunjukkan sikap tegas atau mengartikulasikan kritik yang tidak populer. Sebaliknya, mereka malahan cenderung menyenangkan dan membius (:“to pander”) jemaatnya, terutama mereka yang terlibat aktif dalam komunitas religius mereka. Dengan hanya menyajikan apa yang populer dan disenangi umat sebenarnya para pemimpin religius itu mangasingkan jemaat dari realitas kehidupan mereka, hanya demi alasan supaya mereka tidak lari ke komunitas lain. Paul mengatakan “we somehow think we are ‘being religious’ when we add the words ‘under God’ to the pledge of allegiances, or get into a dispute in trying to post the Ten Commandments at a local school, but the real test of faith is not what we mouth but what we do.” Dengan demikian para pemimpin agama itu telah melacurkan identitasnya dari seorang leader menjadi pleaser. Kecenderingan pandering dalam komunitas religius ini didasarkan pada asumsi bahwa mempunyai jemaat yang banyak itu merupakan tanda keberhasilan suatu komunitas religius dan dengan demikian mendapat pemasukan dana yang lebih.
Selanjutnya dalam dunia pendidikan Paul Simon mengamati bahwa mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan telah terpesona oleh tugas harian yang rutin dan terlena akan tugas jangka panjang seorang pemimpin yang punya keberanian. Secara tajam dia merumuskan :’The excessive use and abuse of academic jargon within the higher education community is an example of pandering internally, producing articles in isolated fields that meet the ‘publish or perish’ criteria but are read by few and contribute as close nothing as you can get. It is not only the time wasted in writing these almost unreadable articles for tenure, salary, and prestige purpose, this pandering also takes academicians –and inevitably their students-away from the real world.”
Menurut Simon tumbuh suburnya ”culture of pandering” dalam kehidupan politik Amerika juga gampang ditengarai. Simon menegaskan bahwa banyak pemimpin politik, yang berorientasi hanya untuk kepentingan pribadi, rajin menyimak pikiran rakyat dan apa yang populer, supaya bisa mengarahkan opini publik, dan mengaburkan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan nyata dari rakyat. Kebutuhan untuk mengeruk dana untuk kampanye dan kegiatan politik lainya, juga menggiring para pemimpin politik sekedar menjadi pleaser daripada leader. Selain memalsu apa yang seolah-olah menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, yang mereka respon dengan janji-janji yang juga palsu, -karena bukan menyangkut kebutuhan otentik rakyat, para pemimpin politik ini seringkali berhasil “menyulap” apa yang seolah-olah menjadi kebutuhan dan aspirasi rakyat yang dikemas dalam jargon-jargon politik dan program-program politik yang tidak pernah menyentuh dan menjawabi kebutuhan nyata dari rakyat. Para politikus yang dijangkiti budaya pandering ini mahir menyapih rakyat dari realitas atau kesadaran dan kebutuhan asli mereka; mereka terasing dari hakekat mereka sebagai “leader” yang mestinya mempimpin (to lead).
Hasil studi Paul Simon ini merupakan sumber yang patut dilirik untuk menyimak dan mencermati budaya atau perilaku para pemipin kita, terlabih di saat mereka sedang asyik berkiprah dan mabok di panggung-panggung kapanye menjelang pemilu. Penulis mengambil contoh fenomena sosialisasi partai atau kampanye dialogis yang dikemas dalam bentuk “diskusi politik” yang sedang marak di komunitas-komunitas Indonesia di Amerika. Beberapa waktu lalu penulis diminta untuk menjadi salah satu pembahas dalam sebuah diskusi semacam ini, dan masih diundang lagi untuk menghadiri “diskusi politik” yang akan datang. Dari beberapa diskusi yang penulis amati, beberapa tokoh politik lebih banyak mengelola sentimen-sentimen yang terkait dengan politik identitas kelompok, bahkan janji-janji untuk mengintroduksi ideologi baru, daripada mengetengahkan analisis komprehensip beserta jawaban program atas persoalan-persoalan nyata yang sedang menimpa bangsa kita. Seorang pemrasaran utama, yang berafiliasi dengan partai politik tertentu, antara lain mengatakan bahwa ketegangan etnik, persoalan SARA, dan kebobrokan moral bangsa kita hanya bisa diatasi kalau kita mengadopsi prinsip hukum dari tradisi agama tertentu (Syariat Islam). Pemimpin politik semacam ini berusaha merebut hati rakyat dengan sekedar mengelola fanatisme dan sentimen-sentimen identitas kelompok (agama) dengan mengajukan janji-janji yang klop dengan “kehausan” kebutuhan kelompok tertentu akan identitas eksklusif, seraya menafikkan akar-akar persoalan yang lebih otentik, lebih luas, dan lebih terkait dengan kebutuhan-kebutuhan yang lebih konkret dari rakyat keseluruhan. Dengan alasan untuk mendapatkan suara, politikus semacam ini sekedar menyenangkan (pleaser) sebagian kecil golongan rakyat, sambil mengasingkan rakyat dari persoalan yang lebih nyata, otentik, dan mendasar, yakni soal penataan kembali struktur sosial-ekonomi yang korup dan penertiban hukum, Pemimpin politik semacam ini semakin terasing dari panggilan mereka sebagai leader, dan merendahkan martabatnya sekedar sebagai pleaser. Wabah “culture of pandering” semacam ini semakin memprihatinkan jika mereka yang tampil sebagai pemimpin politik adalas sekaligus merupakan sosok pemimpin religious.
Selain itu, kecenderungan partai-partai politik untuk menyewa artis-artis tertentu, atau tokoh kharismatik tertentu, atau tokoh agama tertentu, untuk menyedot masa dan pemilih sehingga rakyat terbuai dan lupa akan aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan konkret mereka, juga merupakan manifestasi dari budaya pandering. Fenomena politik semacam ini selain mengalienasikan rakyat dari kebutuhan dan aspirasi konkret mereka, juga memberikan “permen karet” kepada rakyat, dalam arti selera dan kebutuhan rakyat dibelokkan ke selera dan kebutuhan yang lebih rendah. Dengan demikian para politikus yang terlibat dalam gerakan-gerakan semacam ini mengadaikan tugasnya sebagai pemimpin (leader), yang mampu membawa rakyat ke persoalan nyata dan sekaligus menunjukkan jalan dan harapan untuk keluar dari persoalan tersebut, dengan sekedar menjadi penggembira atau badut (pleaser), yang pekerjaannya hanya menyanyi, melawak, atau menari.
Kalau sendi-sendi demokrasi Amerika, yang sudah berproses dalam waktu relatif panjang, sebagaimana disinyalir Paul Simon, bisa dibusukkan oleh “culture of pandering”, apalagi bangsa kita yang sedang tertatih dan baru mulai membiakkan benih-benih dan prinsip demokrasi. Karena itu belajar mendekati persoalan konkret rakyat, belajar membuka pikiran mereka akan hak-hak mereka, belajar mengajak rakyat mendekati dan memeluk persoalan nyata mereka, dan belajar mencari solusi-solusi konkret atas persoalan bangsa, yang dikemas dan diatrikulasikan dalam program-program partai, merupakan benih-benih yang bisa membiakkan budaya demokrasi. Karena itu sudah saatnya bagi para pemipin politik atau agama, atau siapapun yang terlibat langsung dalam proses perjalanan bangsa, untuk belajar menjadi leader bukan pleaser.
Robertus Wijanarko, alumnus STFT “Widya Sasana” Malang, mahasiswa PhD bidang Filsafat, DePaul University Chicago.
DI-NONIK-YOYO: Katarsis
DI, Nonikcempluk,Yoyo thanks for the citcat. Dah lama nggak gila rame-rame, untung dipicu oleh cempluk dan yoyo, dan ditimpali oleh Di si embahnya edan. Nonikcempluk emang edan, aku kehabisan kata-kata meresponse edanmu, sampai-sampai Yoyo kabur tuh. . DI malam ini terkesan "anggun", merasa senior seh. Nonik tetap aja "wild". Yoyo sorry lupa kalau kamu ultah. Ok...thanks lagi buat mencipta momen
katarsis. It is always nice to have you guys.
Artikel: Pudarnya "Imagined Community"
Pudarnya "Imagined Community"
Oleh Robertus Wijanarko
Nations, however, have no clearly identifiable births, and their deaths, if they ever happen, are never natural. (Benedict Anderson)
MOMEN kelahiran nasion memang tidak pernah teridentifikasi secara gamblang. Nasion lahir sebagai sebuah produk (strategi), karena itu kematiannya juga terjadi karena diproduksi, bukan terjadi sendiri secara alamiah.
Kematiannya disebabkan suatu tindakan, keputusan, atau strategi (sosial-budaya-politik) tertentu. Surutnya perasaan kesatuan sebagai nasion, kaburnya cita rasa akan identitas sebagai bangsa-entah secara spatial maupun kultural-atau memudarnya kesatuan cita-cita yang hendak diraih, selalu disebabkan rangkaian tindakan, keputusan, atau strategi sosial, budaya atau politik tertentu.
Untuk meneliti kebenaran dan memahami relevansi pemikiran Benedict Anderson, bagi Indonesia, kita perlu menelusuri gagasan-gagasan yang diajukan tentang nasion sebagai imagined community (komunitas terimaji), dan tentang bagaimana tumbuhnya kesadaran akan nation dari bangsa Indonesia, sebagaimana disajikan dalam karyanya yang kian mendapat tempat di antara pemikir Eropa dan Amerika, Imagined Communities.
Definisi antropologisnya Benedict Anderson menunjukkan, nasion, pertama-tama, adalah sebuah imagined community, karena tidak semua anggotanya pernah (akan) saling kenal, bertemu, atau mendengar, meski dalam benak mereka selalu tumbuh kesadaran, mereka merupakan suatu persekutuan.
Kedua, betapapun besar komunitas yang terimaji, selalu ada batas teritori (limited), yang memisahkan nasion itu dengan nasion-nasion yang lain.
Ketiga, komunitas terimaji itu komunitas yang berdaulat (sovereign), karena konsep itu lahir dalam konteks era sekularisasi, atau dalam rumusan Anderson "born in an age in which Enlightenment and Revolution were destroying the legitimacy of the divine-ordained, hierarchical dynastic realm". (Benedict Anderson, Imagined Communities, 7)
Keempat, nasion selalu terimaji sebagai sebuah komunitas (community), sebab meski dalam kenyataan komunitas itu ditandai aneka perbedaan atau kesenjangan, nasion selalu dipahami sebagai persaudaraan yang mendalam.
Anderson menengarai, embrio sense of nation di Indonesia berawal dari ditinggalkannya sikap indiferent inlanders sebagai kaum terjajah. Meski kita tidak bisa membidik secara akurat kapan momen kelahiran kesadaran itu tumbuh, demikian Anderson, kesadaran itu secara perlahan mulai digenggam kaum muda terpelajar, yang berkat kemampuannya memahami bahasa Belanda (bilingual), mempunyai akses, entah melalui ruang kelas atau pergaulan dengan kaum penjajah, ke soal-soal atau tema-tema berskala internasional, antara lain kesadaran akan identitas, bahasa, dan nasionalisme a la Eropa, yang pada gilirannya mencerahkan budi kaum muda cendekia bangsa Indonesia dan memutus sikap indiferent. Pencerahan budi yang menggugah kesadaran akan identitas dan kedaulatan, yang dipompa semangat, energi, dan imajinasi sebagai ciri "kemudaan" kaum muda terpelajar, inilah yang lalu saling di-sharing-kan, ditukar dan ditularkan melalui bahasa.
Kesadaran akan kesatuan identitas yang terakit melalui "media" bahasa dengan sendirinya menempatkan "bahasa penyatu" (kesatuan) sebagai prasyarat yang tak dapat dielakkan (conditio sine qua non) untuk membangun identitas dan mengikat komunalitas. Karena itu bukan tanpa alasan, kaum muda tercerahkan ini menganonisasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau nasional.
ANALISIS antropologis Benedict Anderson ini membuktikan, pertama, bahasa memainkan peran signifikan dalam proses kelahiran nasion. Bahasa-lah yang mencerahkan kaum muda terpelajar sekaligus menghantar mereka kepada ide-ide besar, yang pada gilirannya menghentikan sikap indiferent. Bahasa pula(!) yang merakit kisah-kisah kaum inlanders muda, yang menggumpal menjadi kesadaran akan kesatuan identitas, yang lalu berkembang menjadi kesadaran akan nasion. Sementara emblem-emblem lain merupakan tambahan yang meramaikan sekaligus menegaskan!
Kedua, studi Benedict Anderson juga menunjukkan, identitas nasional merupakan produksi. Perasaan kesatuan identitas (nasional) tidak pertama-tama muncul berdasar kesadaran akan kesatuan latar belakang budaya, suku, agama, atau golongan sosial, tetapi lebih merupakan "strategi" (produk) sosial-budaya-politik untuk membangun, memproduk, dan mereproduksi identitas diri (self-identity) baru sebagai negasi terhadap identitas yang diimposisikan kekuatan penjajah.
Karena itu, benar apa yang ditegaskan Soekarno saat mengutip Ernest Renan: "Nationalism! To be a nation! It was no later than the year 1882 that Ernest Renan published his idea of concept of ’nationhood’". "Nationhood", according to this author is a spirit of life, an intellectual principle arising from two things: firstly, the people in former times had to be together to face what came, secondly, the people now must have the will, the wish to live and be one. Not race, nor language, nor religion, nor similarity of needs, nor the borders of the land make that nation…. (Holtsappel, Nationalism, 74)
Nasionalisme merupakan wacana untuk menggugat identitas diri yang diimposisikan penjajah, memugar kesadaran diri yang baru, dan menegosiasi pola relasi baru (dengan "penjajah") berdasar kesadaran diri yang baru itu. Nasionalisme merupakan strategi sosial-budaya-politik yang digunakan sebagai kendaraan untuk melawan imperialisme.
Ketiga, energi intrinsik golongan muda terpelajar Indonesia, yang menyembul dalam sikap-sikap yang berani untuk menggugat status dan pola relasi mapan yang diimposisikan, mengkritisi keadaan berdasar pemahaman-pemahaman baru, mengartikulasikan dan mengonsolidasikan kesadaran dan keyakinan, dan membangun jaringan–jaringan kesadaran akan identitas, merupakan élan vital bagi berkembangnya (dan sustainabilitas) gagasan tentang nasion.
STUDI antropologis Benedict Anderson tentang lahirnya nasion (imagined community) di Indonesia menunjukkan, nasion lahir sebagai produk, merupakan strategi sosial-budaya-politik guna menghadapi penjajah, karena itu kematiannya tak pernah terjadi dengan sendirinya atau secara natural, tetapi disebabkan suatu produk, suatu "deformasi" strategi sosial-budaya-politik yang terwujud dalam tiap tindakan dan keputusan sosial-budaya-politik dari pihak-pihak yang punya akses ke kebijakan publik, kekuasaan, dan pengaruh.
Bukankah keluhan-keluhan tentang merosotnya semangat nasionalisme (kalau benar)-kendornya ikatan sosial dan rasa solidaritas yang tercermin dalam tindakan menindas-menguras-memanipulasi guna melanggengkan status sosial? Lunturnya kesadaran akan kesatuan identitas yang tampak pada sikap-sikap egois dan mencari keuntungan sendiri, kaburnya imaji akan batas wilayah teritorial nasional yang tercermin pada meningkatnya semangat kedaerahan atau primordial atau kesukuan, surutnya semangat persaudaraan yang terlihat dalam konflik sosial berdasar sentimen agama-golongan sosial-etnik, disebabkan deformasi strategi sosial-budaya-politik tanpa visi sistematis (strategis), yang tercermin dalam kebijakan dan keputusan publik yang serampangan, yang menepikan cita rasa persaudaraan dan kesadaran sebagai sebuah tubuh atau komunitas yang disebut nasion, yang sarat vested interests dan agenda-agenda sempit tersembunyi?
Dengan kata lain, lunturnya semangat nasionalisme, bukan terjadi dengan sendirinya karena penjajah telah pergi, tetapi justru diproduk penguasa yang mempunyai akses ke kebijakan publik. Mereka inilah kuman yang membusukkan sel-sel yang menjadi daya hidup yang disebut nasion.
Akhirnya kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggelisahkan: dengan senjata apakah kita menghadapi kembalinya gelombang kolonialisme yang lebih dahsyat dengan wajah perdagangan (kapitalisme) global, sementara imagined community tiba-tiba menguap seperti asap? Dengan bahasa dan wacana macam apa kita memproduksi dan terus mereproduksi identitas kita, peran kita, pola relasi kita dengan kaum kapitalis global, sehingga kita tidak sekadar mengikuti nada yang diskema kaum kapitalis. Dengan bahasa, apa kita akan menuliskan narasi kehidupan atau eksistensi kita sebagai "nation"?
Robertus Wijanarko Mahasiswa S3 bidang Filsafat di DePaul University, Chicago
Artikel: Natal, Lahir kembali
Natal, Lahir Kembali
Oleh Robertus Wijanarko
BEBERAPA tahun terakhir ini perayaan Idul Fitri berdampingan dengan perayaan Natal. Suasana religius yang diciptakan saudara-saudara Muslim sejak mulai berpuasa dan berpuncak pada Idul Fitri, segera disusul suasana religius yang diciptakan kaum Kristiani menyiapkan Natal. Untaian atmosfer religius "Idul Fitri-Natal" terasa sebagai "paket tunggal" undangan keselamatan, di mana bangsa manusia diundang untuk berduyun-duyun kembali ke fitrah, atau dalam bahasa Kristiani: dilahirkan kembali menjadi manusia baru.
Bagi umat Muslim merayakan Lebaran berarti merayakan "fitri", fitrah sebagai manusia seperti saat diciptakan. Di dalamnya termaktub undangan untuk kembali ke fitri, kembali ke jati diri manusia (fitrah) sebagaimana manusia diciptakan dan dikehendaki Tuhan. Sementara bagi kaum Kristiani merayakan Natal berarti merayakan kelahiran Tuhan sebagai bayi, sebagai manusia. Di dalamnya terselip pesan, status ke-manusia-an itu luhur, layak disinggahi-dihuni oleh keilahian.
Selain itu manusia juga dipanggil untuk mau "dilahirkan kembali" supaya bisa bersatu dengan Tuhan (selamat). Dalam bahasa Injil, mereka yang mau menjadi sempurna atau selamat harus dilahirkan kembali atau menjadi seperti kanak-kanak. Pesan Idul Fitri untuk kembali ke fitrah, senada dengan pesan Natal, keterbukaan untuk dilahirkan kembali.
MENGAPA manusia harus kembali ke fitri? Mengapa manusia harus dilahirkan kembali atau menjadi seperti kanak-kanak? Apakah perjalanan kehidupan, rentang waktu atau sejarah itu selalu menjauhkan atau bahkan mengasingkan manusia dari fitrinya, dari keadaan murni sebagaimana mereka baru diciptakan? Apakah proses menjadi dewasa dan tua itu menyapih manusia dari kondisi suci, murni, baik, tanpa dosa, sebagaimana gambaran yang dikenakan pada anak kecil yang baru dilahirkan? Rentetan pertanyaan ini muncul dari asumsi, kembali ke fitrah, lahir kembali, atau menjadi seperti kanak-kanak, merupakan proses progresif. Kembali ke fitrah bukanlah proses dekonstruksi-regresif, artinya bukan proses mundur ke belakang menziarahi kembali kondisi-kondisi atau tahapan kualitas kemanusiaan yang pernah kita miliki sebelumnya; juga bukan proses mengurai (mendekonstruksi) kembali keping-keping lapisan karakter, kepribadian, atau kualitas diri di masa lalu, sampai meraih kembali kondisi-kondisi sebagaimana baru diciptakan oleh Allah.
Demikian juga, lahir kembali atau menjadi seperti kanak-kanak bukanlah proses infantile-regresif, artinya bukan proses merunut dan menapaki ke belakang tahap-tahap perkembangan kepribadian sampai meraih kembali kondisi-kondisi yang kita miliki ketika masih bayi atau kanak-kanak. Kembali ke fitrah, lahir kembali, atau menjadi seperti kanak-kanak adalah proses progresif, artinya suatu proses kemajuan atau proses pertumbuhan dalam mengenakan dan mewujudkan keutamaan atau nilai-nilai, yang pada gilirannya memekarkan fitrah atau hakikat kita sebagai manusia, ciptaan sekaligus citra pencipta.
Proses progresif kembali (menuju) ke fitrah terjadi dengan menekuni dan menyeriusi kehidupan, memeluk kemalangan (malum) dan keberuntungan atau kebaikan (bonum), menghadapi peluang dan tantangan dari hari ke hari, bukan sebagai sarana regresif untuk kembali ke fitrah, juga bukan sebagai sarana "mengamini", melatih, atau mengembangkan ke-taat-setia-an kepada hakikat-hakikat kemanusiaan (the essential perspective of human beings) sebagaimana sering dipresumsikan pandangan teologi metafisik, tetapi lebih merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang terus dalam proses memanusia atau menjadi manusia (being human).
Kembali ke fitri atau menjadi manusia baru dengan demikian tidak terjadi dengan mengabdi kepada kerangka etis maupun yuridis, yang telah dipatok dan disusun berdasar asumsi-asumsi abstraktif-metafisis tentang manusia, yang kemudian dipaketkan sebagai hukum atau aturan etis yang harus ditaati manusia, tetapi merupakan proses perjalanan progresif untuk memekarkan seluruh potensi diri menjadi manusia yang semakin dan terus memanusia (being human).
Menjadi manusia baru adalah proses untuk menjadi lebih mandiri dan kian menyapih diri dari hukum-hukum agama dan tradisi etis, yang sebelumnya mungkin berfungsi sebagai "pengasuh" manusia.
KERANGKA pandang itu mengasumsikan, fitrah manusia itu baik dan sudah disertakan berbarengan dengan saat dia diciptakan tetapi dalam bentuk "embrio" organis. Dalam fitrah termaktub benih-benih kebaikan manusiawi dan benih-benih keilahian, karena manusia dicipta dari "tanah" dan dihembusi Roh oleh Allah.
Hembusan Roh Allah atau benih keilahian inilah yang menjadi pelita (membimbing) manusia untuk memekarkan fitrah yang diterimanya dalam bentuk benih sejak penciptaan dirinya. Dalam perspektif Kristiani kerangka pandang itu mengandaikan, "status dasar ke-manusia-an" itu baik dan bibit baik-nya sudah disertakan sejak dia diciptakan, tetapi juga masih dalam bentuk "embrio" organis.
Sebagaimana dalam "fitrah", dalam "status dasar ke-manusia-an" (sebagaimana saat dilahirkan) ini benih-benih kebaikan manusiawi sekaligus benih Ilahi sudah disertakan karena manusia diciptakan seturut citra Allah.
Ke-citra Allah-an inilah yang membimbing manusia untuk memekarkan kemanusiaan-keIlahiannya yang diterimanya sebagai embrio organis dalam penciptaan. Etika hidup sosial (bagaimana memperlakukan orang lain, menghormati kehidupan orang lain, dan berhidup sosial) mengalir atau terajut dari usaha-usaha tiap individu guna memekarkan embrio fitri yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian kembali menjadi manusia baru, atau menjadi seperti kanak-kanak memang bukan proses regresif, tetapi proses progresif. Artinya, proses untuk memekarkan fitrah atau ke-manusia-an, yang kita terima dari Allah (Alpha), yang di dalamnya ada embrio kebaikan manusiawi dan keilahian, untuk mencapai fitri, untuk menjadi manusia baru, untuk menjadi seperti kanak-kanak, karena inilah jalan untuk menuju ke suatu persekutuan dengan Allah (Omega). Allah adalah asal (alpha) dan tujuan (omega) fitrah manusia. Perspektif semacam ini sepikir dengan ide-ide besar modern seperti self-actualization atau self-authentication.
Sejarah, rentang waktu, atau peradaban, dengan demikian, bukan merupakan rentetan event yang menyapih atau menjarakkan kita dari fitrah, tetapi sebagai untaian event yang mengantar kita menuju fitrah.
Robertus Wijanarko Rohaniwan, sedang menempuh studi lanjut bidang Filsafat di DePaul University, Chicago, USA
Artikel: "Virtual Cosmology"
"Virtual Cosmology"
Oleh Robertus Wijanarko
"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing" (Martin Heidegger).
FENOMENA pasar global dan liputan perang (invasi) Amerika Serikat dan sekutunya dengan (ke) Irak kian menegaskan datangnya fajar baru era kehidupan manusia, era virtual cosmology (kosmologi virtual).
Betapa tidak? Wawasan tradisional kita tentang kosmos, baik yang tercipta melalui lensa nilai-nilai dan keyakinan tradisi agama monoteistik, kerangka pikir Yunani-abad pertengahan-maupun lensa modernitas-aufklarung-digeser lensa fenomenologis-intensional-virtual.
Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi kita lihat pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan yang teratur, bukan pula struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api, tumbuhan, binatang, cakrawala, manusia, dll), atau sebagai ens yang merupakan emanasi dari the ultimate ens (atau perwujudan dari Substance), tetapi merupakan sebuah pasar, komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi jual-beli itu (produksi-distribusi-advertasi), yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan informasi dan komunikasi virtual.
DI era pasar global, kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan interaksi manusia yang dibidik melalui lensa "dagang" dan disuguhkan secara virtual melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik merupakan fenomena aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).
Hal senada bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan sekutunya ke Irak. Liputan perang di Irak, yang dilakukan media dengan memotret kisah-kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari, yang disuguhkan secara virtual, dan dibidik-disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology (kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan.
Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera. Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme a la Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.
Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang, yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.
Karena itu tepat yang dikatakan filsof fenomenologis, Martin Heidegger, "a boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing." Kosmos tidak lagi dibatasi bentangan spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi atau dipigura horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual itu.
MENGINGAT kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu, maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas "lensa" yang menciptanya, akan membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas "intensionalitas" lensa itu dan membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan kosmos tertentu.
Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan (faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan era "postmodern" yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomen-fenomena keseharian.
Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi, sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.
Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi dasar-dasar etis bagi relasi sosial.
Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri ignoran terhadap kosmogoni dan kosmologi modern, yang berciri fenomenologis-virtual-intensional, akan membuat kita sekadar menjadi "bidak-bidak catur" yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang rumit dan kompleks.
Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem atau jaringan tindakan, maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan, yang mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya, menjadi kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual itu. Kita tidak akan pernah menjadi subjek!
Robertus Wijanarko Rohaniwan, mahasiswa S-3 Filsafat DePaul University, Chicago
Sosial: Generous?
Ketika sumbangan untuk para Kurban Tsunami ditagih, dan pernyataan besarnya sumbangan pertama digugat karena dianggap terlalu "stingy"
Presiden USA dan para politikus mengklaim bangsa Amerika itu generous, retorika ini juga disetujui oleh sebagian besar bangsa yang mewah ini. Media mengartikulasikanya. Terciptalah kesadaran dan bahkan keyakinan umum bahwa mereka memang generous. "Simak reccord kami!", demikian seolah-olah tutur mereka.
Tetapi apakah memang demikian?
-Apa yang akan terjadi jika mereka tidak menyumbang, dan tetap menumpuk kekayaan mereka di kotak?
-Apakah mereka sungguh menyumbang, dan bukan sekedar mendestribusikan kembali (redistribute) apa yang mereka raup, akibat tatanan dunia yang tidak adil. Tatanan dunia yang ibarat mesin menyedot semua kekayaan ke kantung mereka (negara-negara kaya)?
-Bukankah sumbangan itu sekedar mekanisme untuk menjaga keseimbangan kehidupan, dengan cara membuang limbah-limbah kekayaan itu, sehingga tatanan dunia yang kayak mesin penyedot itu tetap berjalan dan tidak digugat oleh kehidupan?..............bukankah ketika kantung sebuah mesin itu terlalu penuh...dan tidak ada mekanisme untuk membatasi apa yang mampu diwadahi kapasitas daya tampung, maka kantung itu akan meledak?
Gugatan-gugatan tersebut perlu dibahasakan secara ilmiah supaya didengar wibawanya. Tetapi memang demikian, ketika jargon-jargon "kita memang generous" sudah menggumpal menjadi kesadaran sosial sebuah komunitas, maka kepekaan untuk menjelajah kebenaran yang lebih benar, bahwa tatanan sosial dunia itu tidak adil, menjadi sepi dan tidak lagi menjadi pertanyaan dan keresahan sosial.
Dan kita semua terjebak dalam arus dunia jargon dan retorika.
Nang, Chicago..............
Kehidupan: KETIKA KEHIDUPAN MENDIDIKU
NYANYI SUNYI
nyanyiku nyanyi sunyi...
kuhimpun nada
kurajut tata
kubiarkan hati mendendangkannya...
semua di dalam ku
masih tentang cerita duka
ketika yang terkasih bertiwikrama
dari pramesti ke dewi durga
menjadi perupa dan peluka
tersapih dari rasa
terlantun di tengah sepi
dialasi rasa onak di hati
didengar hanya oleh ratri
diiringi senandung bau pertiwi
MENGENAL HATI
adakah aku nggak mengenal pernik hati manusia?
adakah aku nggak paham tata hati yang manusiawi?
adakah aku nggak bisa membaca hatiku sendiri?
hati yang kukira hening, bening dan wening
ternyata nggak kukenali...
mrucut dari genggaman pemahamanku
jauh dari semua yang kupelajari tentang pernik hati manusia,
tentang kemanusiaan....
adakah hati bisa menikamti keindahan sementara dia menebar luka?
adakah hati bisa mencinta tulus sementara dia menginjak dan melukai hati lain?
kalaupun ada, dan sepertinya ada
aku ingin mengenali strukturnya
begitu komplekskah wajah hati manusia?
TERJAGA
Kurelakan ketika bayang-bayang kalian merenggut ranah sadarku,
kurelakan......
Juga ketika mereka menyelundup, menggigit, dan menoreh-lukiskan bilur-bilur luka di setiap dinding sendi sadarku
Kurelakan pagi dan malamku disapa oleh dera bayang kalian, juga setiap celah detak-detik sepanjang hariku....
aku relakan, karena engkau pramestiku.....
aku relakan, karena aku toch bisa berteduh di serambi bobokku.....
Namun...
sejengkal ranah resistensikupun kalian renggut,
bayang kalian sering menyelundup di sana,
di ruang paling pribadi
di relung pemberi resistensi,
di bilik penuh pori-pori untuk mencipta katarsis dan energi baru
semakin kuat kutampik, semakin keras bayang itu memaksa.....
semakin banyak idol-idol baru kucipta, semakin tegas bayang-bayangmu.
aku membuat kredo dan litani baru...
"dia bukan orang baik"
"kalau di orang baik, dia nggak akan seperti itu"
"dia egois"
"dia nggak stabil"
"dia inconsiderate"
"dia bisa melukai dan melumat siapa saja"...hanya soal musim yang berbeda...
Biarpun buruk idol-idol yang kucipta, hatiku nggak pernah berhenti mencinta
karena hatiku hanya satu, juga wajahnya.....
dididik hanya untuk mencinta, dan untuk sekali mencinta...
"pramesti" jangan tatap bilur-bilur ini,
mata, rasa, dan kesadaranmu pun nggak sanggup menelusurinya.
Aku sering mencoba menguntit jalan-jalannya, tapi dia hilang di telan kepekatan dan kedalaman....
sampai aku sendiripun tersesat dirimba adaku....
ketika bilik kecilku pun kau renggut, kemana aku harus berteduh.....
NANG
Chicago, 02.28 am, ketika tidurku pun kalian renggut....
Kehidupan: Night-Day
"I often think that the night is more alive and more richly colored than the day" -Vincent Van Gogh.
Aku melirik tulisan itu di atas sebuah lukisan Vincent Van Gogh, pada sebuah pameran di sebuah museum di Atlanta. Shenny, Bu Tin, Sisca dan Crist menemaniku.
Ketika hari ini kubaca lagi, tulisan Van Gogh itu terasa masih powerful.
Memang siang selalu
pucat. Pucat karena benderang mentari menelanjangi keanggunan dan kehangatan misteri. Pucat karena setiap tubuh dan jiwa hanya jadi mesin produksi keringat dan barang, atau jasa. Pucat karena wajah kemanusiaan dihimpit kesibukan kerja dan produksi. Pucat karena hati dan jiwa dibuat terdiam dan layu oleh ambisi dan keinginan yang tak kunjung tidur.
Sementara Malam? Inilah saat untuk mentransendensi diri. Saat berhimpun dengan teman, berkumpul, bercanda, menikmati terang, menikmati sunyi atau nyanyi. Meneguk kehidupan untuk menyuapi dahaga hati dan jiwa kemanusiaan.
Malam lebih benderang, warna-warni, dan hidup, karena di sanalah kita "celebrate" kemanusiaan dan kehidupan.
Nang,
Chicago